Oleh: M. Shiddiq al-Jawi
Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus,
Pertama, deskripsi realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama.
Kedua, perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas
keanekaragaman agama yang ada.
Hal itu misalnya dapat ditelaah
dalam penjelasan Josh McDowell mengenai definisi pluralisme. Menurut
McDowell, ada dua macam pluralisme; Pertama, pluralisme tradisional
(Social Pluralism) yang kini disebut “negative tolerance”. Pluralisme
ini didefinisikan sebagai “respecting others beliefs and practices
without sharing them” (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak
lain tanpa ikut serta [sharing] bersama mereka). Kedua, pluralisme baru
(Religious Pluralism) disebut dengan “positive tolerance” yang
menyatakan bahwa “every single individual’s beliefs, values, lifestyle,
and truth claims are equal” (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan
klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal) (http://www.ananswer.org/mac/answeringpluralism.html, diakses 11/06/05).
Dari pengertian pluralisme agama McDowell di atas, jelas bahwa yang dia
sampaikan bukan sekedar fakta, tapi sudah menyangkut opini, yaitu suatu
sikap atau pandangan filosofis tertentu dalam menilai fakta. Pendirian
filosofis itu nampak dari penilaian, bahwa semua keimanan, nilai, gaya
hidup dan klaim kebenaran, adalah sama/setara (equal).
Maka
dari itu, adalah suatu penyesatan atau disinformasi yang disengaja,
kalau dikatakan bahwa pluralisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah.
Benar, bahwa adanya keanekaragaman realitas, itu sunnatullah. Tapi
perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas plural
itu, jelas bukan sunnatullah yang bersifat universal, melainkan suatu
pendapat yang unique dan mengandung nilai atau pandangan hidup tertentu
(value-bound).
Sebagai jalan keluar dan upaya klarifikasi,
sebaiknya digunakan dua istilah, yaitu pluralitas, yang menunjuk pada
fakta adanya kemajemukan, dan pluralisme, yang menunjuk pada opini atau
perspektif tertentu dalam memandang realitas plural yang ada.
Terlepas dari itu, wacana pluralisme agama yang marak dewasa ini memang
patut dikritisi secara cermat. Sebab di samping ada kerancuan pengertian
seperti dijelaskan di atas (dalam pluralisme itu terkandung deskripsi
fakta dan pendirian filosofis sekaligus), juga ada beberapa hal lain
yang patut untuk dikritisi. Setidaknya ada 4 (empat) poin kritik
terhadap pluralisme agama:
Pertama, aspek normatif. Secara
normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama
bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme
agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar,
Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah
sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya
Islam yang benar (Qs. Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah
tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (Qs. Ali-Imran [3]: 85).
Biasanya para penganjur pluralisme berdalil dengan Qs. al-Baqarah [2]:
62 dan Qs. al-Mâ’idah [5]: 69. Dalam Qs. al-Baqarah [2]: 62 Allah
berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang
Yahudi, Nashrani, dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah
dan Hari Akhir dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala dari
Tuhan mereka dan tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak pula
bersedih hati.” (Qs. al-Baqarah [2]: 62).
Ayat itu oleh kaum
pluralis-inklusif, dipahami sebagai pembenaran agama selain Islam, yaitu
Yahudi, Kristen, dan Shabiin. Jadi, Islam, Yahudi, Kristen, Shabiin
sama-sama benarnya.
Pemahaman seperti itu salah, karena dua
alasan. Pertama, pemahaman itu mengabaikan ayat-ayat lain yang
menjelaskan kekafiran golongan Yahudi dan Nasrani, misalnya ayat dalam
Qs. al-Bayyinah [98] atau Qs. al-Mâ’idah [5]: 72-75. Jadi, pemahaman
kaum pluralis itu didasarkan pada metode penafsiran yang mengucilkan
satu ayat, lalu ayat itu dipenjara dalam satu kotak sempit (bernama
pluralisme), sementara ayat-ayat lain diabaikan begitu saja. Kedua,
orang Yahudi, Kristen, dan Shabiin yang selamat, maksudnya adalah mereka
yang beriman dan menjalankan amal saleh secara benar sebelum datangnya
Muhammad Saw. Bukan setelah diutusnya Muhammad Saw (orang Kristen dan
Yahudi sekarang). Sababun Nuzul ayat ini sebagaimana diriwayatkan
al-Wahidi dan as-Suyuthi, adalah adanya pertanyaan dari sahabat bernama
Salman al-Farisi ra kepada Nabi Saw tentang nasib kawan-kawannya dulu
(Kristen) sebelum dia masuk Islam. Nabi menjawab, “Mereka di neraka.”
Lalu turunlah ayat di atas yang menerangkan nasib baik mereka kelak di
Hari Kiamat (Lihat kitab Lubabun Nuqul, As-Suyuthi, dan Asbabun Nuzul,
Al-Wahidi).
Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham
pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang
mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga
Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The
St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak
10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa
mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik
dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra
ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada
keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan
itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan).
Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang
genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting
sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.
Ketiga, aspek
inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan
secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga
benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta
menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja
melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan
domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar
kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa
kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri
tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.
Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama
dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia
Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan
dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup
berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan
hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional,
AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS
menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS.
Jadi, pertanyaannya, mengapa bukan AS yang menjadi sasaran penyebaran
paham pluralisme? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa bertoleransi
terhadap arogansi AS? Bukankah AS yang sangat intoleran kepada bangsa
dan umat lain, khususnya umat Islam? Bukankah tentara AS di Guantonamo
(Kuba) yang membuang al-Qur’an ke dalam WC? Mengapa umat Islam yang
justru dipaksa ramah, tersenyum, dan toleran kepada AS, padahal justru
umat Islamlah yang menjadi korban hegemoni AS yang biadab, kejam,
brutal, sadis, dan tak berperikemanusiaan?
Dari keempat gugatan
terhadap pluralisme di atas, kiranya dapat dipetik suatu kesimpulan
yang berharga, bahwa ide pluralisme agama wajib ditolak. Sebab ide
tersebut bertentangan secara normatif dengan Aqidah Islam, tidak
orisinal alias palsu karena tumbuh dalam setting sosio historis Barat,
diimplementasikan secara inkonsisten, dan membahayakan umat Islam secara
politis, karena akan membius umat agar tidak sadar telah diinjak-injak
oleh hegemoni AS.
Tujuan akhir dari konsep pluralisme agama
sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Aqidahnya, sehingga
hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan
total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahasia
atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera
dihancurkan, umat Islam akan bisa menjadi potensi ancaman serius untuk
hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah
Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan, agar umat
Islam takluk dan tunduk patuh sepenuh-penuhnya kepada kaum penjajah
kafir. Itulah tujuan sebenarnya dari wacana pluralisme agama ini, tidak
ada yang lain.
إرسال تعليق