Oleh: Azeza Ibrahim Rizki, Aktifis Kajian Zionisme Internasional
Membicarakan tema konspirasi selain memang menarik juga seolah hampir
tiada akhirnya. Di Indonesia sendiri walau sudah cukup lama berkembang,
pembicaraan tentang teori konspirasi baru marak dibicarakan umum sejak
diterbitkannya novel The Da Vinci Code.
Fenomena maraknya pembahasan tentang teori konspirasi yang
dipengaruhi oleh buku karya Dan Brown ini dapat kita lihat dari
menjamurnya buku-buku yang terbit kemudian untuk menjelaskan lebih
lanjut tentang isu apa sebenarnya yang dibawa Dan Brown dalam bukunya.
Isu-isu seperti perkumpulan dan organisasi rahasia dengan agenda
besar tertentu betul-betul menarik perhatian banyak pihak. Indonesia
yang cukup lama berada dibawah kontrol informasi rezim Orde Baru
betul-betul terbelalak dengan pemaparan-pemaparan tentang organisasi
macam Freemasonry, Illuminati, Rossicrucian, Brotherhood of Snake dan
lain-lain.
Apalagi agenda yang dibawa oleh kelompok rahasia ini adalah agenda
besar yang pastinya melibatkan seluruh orang di dunia yang ironisnya
justru tidak menyadari adanya agenda tersebut. Agendanya sederhana saja,
yakni menguasai dunia.
Sayangnya, ketika isu seperti ini jatuh ketangan public, seringkali
masyarakat awam bertindak reaktif ketimbang antisipatif. Walau agenda
“menguasai dunia” itu terdengar sederhana, tapi aspek-aspek pendukung
agar rencana tersebut terwujud tidaklah sederhana. Disinilah masalah
terjadi, ketika masyarakat awam mulai menyederhanakan perkara yang tidak
sederhana.
Gagap Informasi, Semua Berkonspirasi
Konspirasi secara umum adalah bentuk kerjasama dibalik layar,
maknanya sendiri kemudian cenderung bernuansa negative dikarenakan
jarangnya seseorang atau kelompok berkonspirasi untuk tujuan yang baik
dan mulia.
Oleh karena sifatnya yang tertutup dan penuh rahasia, teori
konspirasi berperan dalam mengungkap fakta dan benang merah yang janggal
dalam sebuah kejadian atau perkara. Mencari fakta dalam perkara rahasia
bukanlah hal yang mudah tapi juga tidak lantas mustahil, disinilah
teori konspirasi berperan. Dengan menggunakan fakta-fakta janggal yang
terbatas, teori konspirasi dibuat untuk membangun hipotesis dasar untuk
kemudian dipakai sebagai alat pengungkap fakta berikutnya. Proses ini
terus berlanjut sampai akhirnya sebuah kenyataan dapat diungkap.
Teori konspirasi sesungguhnya berangkat dari pengungkapan seperangkat
fakta yang kemudian diikat dalam kesimpulan atau hipotesa tertentu yang
sifatnya sementara. Akan tetapi dalam perkembangannya, teori konspirasi
menjadi teori yang sifatnya lebih pada praduga-praduga yang bahkan
tidak memiliki fakta awal yang relevant.
Fenomena dimana teori konspirasi turun kasta menjadi teori
tebak-tebakan sejatinya sudah lama terjadi. Penulis sekaligus pakar
semiotika dan abad pertengahan, Umberto Eco dalam novelnya “Foucault’s
Pendulum”, dengan bagus menangkap fenomena tersebut.
Dalam novelnya tersebut, Eco dengan lugas mengungkap betapa
berbahayanya jika sekumpulan fakta yang terbatas tidak dipahami dengan
bijak dan justru disikapi dengan tergesa-gesa. Buku yang diterbitkan
tahun 1988 itu adalah wujud auto critics terhadap fenomena
gandrungnya masyarakat Eropa dengan teori-teori konspirasi yang
sebenarnya telah terdegradasi menjadi teori tebak-tebakan. Artinya, di
Barat sana fenomena ini sesungguhnya sudah lama muncul.
Sedangkan di Indonesia sendiri, yang boleh dibilang cukup terlambat
menerima teori konspirasi a la Barat, rupanya juga mengalami hal yang
tidak jauh berbeda. Hal ini diperparah dengan absennya orang-orang yang
ahli dibidangnya, terutama seorang ahli dengan framework Islam.
Contoh sederhana dalam menyikapi karya seni buah tangan Da Vinci,
fakta macam apa yang bisa didapat dari seseorang yang tidak paham
sejarah dan tidak faham seni. Sementara fakta yang hendak diungkap
adalah ideology dibalik karya seni.
Walhasil, jangankan membuat hipotesa, dalam pengumpulan data saja
bisa jadi kita sudah banyak salahnya. Dari kerancuan-kerancuan yang
demikian bisa jadi menumbuhkan phobia dalam diri kita bahwa semua ini adalah hasil konspirasi.
Habis Konspirasi Terbit Cocoklogi
Jika kata Biologi itu berasal dari bios yang artinya “kehidupan” dan logos yang artinya “ilmu”, maka kata Cocoklogi mungkin berasal dari kata cocok yang artinya memang cocok, tepat atau “klop” dan logos
yang artinya ilmu. Dengan kata lain Cocoklogi adalah ilmu yang membahas
kecocokan-kecocokan, atau klop-klopan antara satu fakta dengan yang
lainnya.
Kata Cocoklogi ini sesungguhnya hadir dikarenakan alasan yang sama
dengan terbitnya novel Umberto Eco yang berjudul “Foucault’s Pendulum”
itu. Kata Cocoklogi adalah sebuah bentuk kritik dari masyarakat yang
bosan atau boleh jadi muak dengan para “pakar konspirasi” partikelir
yang seringkali mencocok-cocokkan fakta yang tidak cocok kedalam sebuah
teori konspirasi tertentu.
Mirisnya, ilmu Cocoklogi ini cukup menjamur ditengah kalangan aktivis
Islam yang justru baru belajar tentang apa itu konspirasi. Praduga
dijadikan fakta, asumsi dijadikan konsepsi, sungguh pola fikir semacam
ini, alih-alih menyelesaikan perkara konspirasi global, justru menjadi
masalah “konspirasi” sendiri di dalam tubuh umat ini.
Terutama yang perlu ditekankan adalah perkara symbol yang
dipopulerkan oleh Dan Brown. Jangan hanya karena ada logo mirip bentuk
“satu mata” maka langsung di justifikasi sebagai antek New World Order,
jangan pula hanya karena pakai kata “cahaya”, sesuatu langsung
diasosiasikan dekat atau berkaitan dengan Illuminati.
Sifat bahasa, yang didalamnya termasuk symbol, adalah arbitrer.
Artinya bisa jadi sama “mata”nya tapi maknanya bisa berbeda. Karena
masalah pemaknaan akan kembali kepada ideology yang beraneka ragam
adanya.
Bersikaplah dengan Sikap Seorang Muslim
Kalau umat Islam terjebak dengan kebodohan yang sama yang dilakukan para pemerhati teori Konspirasi di Barat yang keblinger,
sungguh percuma predikat Muslim menempel pada diri kita. Sebab seorang
muslim jelas-jelas dilarang untuk bereaksi hanya berdasarkan kepada
praduga atau dzon.
Dalam Islam kita diajarkan dengan teliti dan hati-hati tentang
bagaimana mengelola informasi dalam kehidupan sehari-hari, kita juga
dijarkan bahwa mencari dan mengungkap kebenaran yang bisa menjadi
pengetahuan bukan pekerjaan sehari dua hari, perlu proses yang panjang
dan kontinu didalamnya.
Adanya konspirasi itu pasti, tapi sungguh rugi hanya paham konspirasi
tapi tidak mencari solusi. Apalagi kalau sampai kita memakai Cocoklogi
untuk melemahkan perjuangan Islam itu sendiri.
إرسال تعليق