Pada suatu ketika, tahun 1480 Masehi, sultan Muhammad al Fatih telah
berhasil menaklukan sebuah kota di ujung Italia, bernama Otranto. Namun
tak lama kemudian, beliau segera mempersiapkan kembali pasukan perang
yang amat kuat, yang kualitas dan jumlahnya ditingkatkan lebih tinggi
daripada penaklukan-penaklukan beliau sebelumnya. Tidak ada satu orang
pun yang tahu ke manakah gerangan pasukan perang yang sedang dibangun
ini akan digerakkan. Ini memang kebiasaan beliau, selalu merahasiakan
tujuan penaklukan beliau selanjutnya. Yang mengetahuinya hanya diri
beliau sendiri dan Allah swt.
Namun kaum Kristen Eropa
mengetahuinya. Mereka tahu betul bahwa setelah berhasil menaklukkan
Konstantinopel, sutan Muhammad al Fatih pasti akan menaklukkan Roma,
sebagaimana janji Rasulullah saw. Dan sultan Muhammad al Fatih telah
berhasil menaklukkan Otranto, pasukan besar kali ini pastilah akan
beliau arahkan ke untuk menaklukkan Roma. Kalau bukan ke sana, lalu ke
mana lagi? Karena didorong oleh kengerian itu, Paus Sixtus IV tega
meninggalkan rakyatnya di Roma dan melarikan diri ke Avignon (sebuah
kota di selatan Prancis). Setiap hari kaum Kristen berdoa di
gereja-gereja dan kapel-kapel.
Ketika pasukan perang untuk
menaklukkan Roma itu akan bergerak dari Uskudar, Sultan Muhammad al
Fatih jatuh sakit. Penyakit radang sendi yang telah beliau derita sejak
tahun 1470 semakin parah. Namun semua itu tidaklah beliau hiraukan.
Beliau tetap berangkat berjihad bersama pasukan beliau menuju Roma.
Sayangnya, Allah berkehendak lain. Allah memanggil beliau pada tanggal 3
Mei 1481, dalam usia 49 tahun.
Kabar wafatnya Sultan Muhammad
al Fatih kemudian tersebar. Duta besar negara eropa pertama yang
mengetahui kabar ini berasal dari Venesia, Nicollo Cocco. Kemudian dia
mengirim kabar kepada Diego Giovanni Mocenigo, Doge (istilah untuk
pemimpin) Venesia, yang tiba tanggal 29 Mei 1488. Saat akan mengantarkan
surat itu, sang kapten bersorak di hadapan Doge, “La grande aquila
e’morta!” (elang yang perkasa itu sudah mati).
Setelah membaca
kabar lengkapnya dari surat yang dikirim Cocco, Doge langsung
memerintahkan untuk membunyikan lonceng Marangona, lonceng besar yang
ada puncak menara San Marco. Lonceng spesial itu hanya dibunyikan ketika
ada momen-momen spesial, seperti matinya seorang doge, menangnya armada
Venesia melawan musuh, dll. Dan wafatnya Sultan Muhammad al Fatih
dijadikan sebagai salah satu momen khusus yang layak diapresiasi dengan
membunyikan Marangona. Tak lama kemudian seluruh lonceng gereja
berdentang bersama Marangona untuk memperingati wafatnya sang Grande
Turco (orang Turki yang agung).
Berita wafatnya Sultan Muhammad
al Fatih pun sampai juga ke telinga Paus Sixtus. Dia segera kembali ke
Roma dan menembakkan meriam dari Castel Sant’Angelo, sebuah benteng
besar di Tiberius di dekat Basilika Santo Petrus dan Vatikan. Seluruh
lonceng dibunyikan dan Paus memimpin prosesi panjang yang melibat
seluruh kolose kardinal dan seluruh duta besar dari Basilika Santo
Petrus menuju gereja Santa Maria del Popoli.
Perayaan meriah
digelar selama tiga hari. Ketika berita itu sampai di belahan Eropa yang
lain, perayaan-perayaan itu diulangi lagi di sana. Eropa gemetar dan
tenggelam dalam euforia, ketika mendengar kabar bahwa Sultan Muhammad al
Fatih wafat.
Hal ini menggambarkan kepada kita betapa disegani dan
diperhitungkannya beliau sebagai seorang muslim. Setiap gerak beliau
begitu menggetarkan kekufuran. Kita akan kembali memiliki pemimpin
seperti beliau jika Khilafah Islamiyah kembali ditegakkan. Insyaallah
dalam waktu dekat.
Penulis: Sayf Muhammad Isa (Penulis Draculesti)
Pada suatu ketika, tahun 1480 Masehi, sultan Muhammad al Fatih telah
berhasil menaklukan sebuah kota di ujung Italia, bernama Otranto. Namun
tak lama kemudian, beliau segera mempersiapkan kembali pasukan perang
yang amat kuat, yang kualitas dan jumlahnya ditingkatkan lebih tinggi
daripada penaklukan-penaklukan beliau sebelumnya. Tidak ada satu orang
pun yang tahu ke manakah gerangan pasukan perang yang sedang dibangun
ini akan digerakkan. Ini memang kebiasaan beliau, selalu merahasiakan
tujuan penaklukan beliau selanjutnya. Yang mengetahuinya hanya diri
beliau sendiri dan Allah swt.
Namun kaum Kristen Eropa
mengetahuinya. Mereka tahu betul bahwa setelah berhasil menaklukkan
Konstantinopel, sutan Muhammad al Fatih pasti akan menaklukkan Roma,
sebagaimana janji Rasulullah saw. Dan sultan Muhammad al Fatih telah
berhasil menaklukkan Otranto, pasukan besar kali ini pastilah akan
beliau arahkan ke untuk menaklukkan Roma. Kalau bukan ke sana, lalu ke
mana lagi? Karena didorong oleh kengerian itu, Paus Sixtus IV tega
meninggalkan rakyatnya di Roma dan melarikan diri ke Avignon (sebuah
kota di selatan Prancis). Setiap hari kaum Kristen berdoa di
gereja-gereja dan kapel-kapel.
Ketika pasukan perang untuk
menaklukkan Roma itu akan bergerak dari Uskudar, Sultan Muhammad al
Fatih jatuh sakit. Penyakit radang sendi yang telah beliau derita sejak
tahun 1470 semakin parah. Namun semua itu tidaklah beliau hiraukan.
Beliau tetap berangkat berjihad bersama pasukan beliau menuju Roma.
Sayangnya, Allah berkehendak lain. Allah memanggil beliau pada tanggal 3
Mei 1481, dalam usia 49 tahun.
Kabar wafatnya Sultan Muhammad
al Fatih kemudian tersebar. Duta besar negara eropa pertama yang
mengetahui kabar ini berasal dari Venesia, Nicollo Cocco. Kemudian dia
mengirim kabar kepada Diego Giovanni Mocenigo, Doge (istilah untuk
pemimpin) Venesia, yang tiba tanggal 29 Mei 1488. Saat akan mengantarkan
surat itu, sang kapten bersorak di hadapan Doge, “La grande aquila
e’morta!” (elang yang perkasa itu sudah mati).
Setelah membaca
kabar lengkapnya dari surat yang dikirim Cocco, Doge langsung
memerintahkan untuk membunyikan lonceng Marangona, lonceng besar yang
ada puncak menara San Marco. Lonceng spesial itu hanya dibunyikan ketika
ada momen-momen spesial, seperti matinya seorang doge, menangnya armada
Venesia melawan musuh, dll. Dan wafatnya Sultan Muhammad al Fatih
dijadikan sebagai salah satu momen khusus yang layak diapresiasi dengan
membunyikan Marangona. Tak lama kemudian seluruh lonceng gereja
berdentang bersama Marangona untuk memperingati wafatnya sang Grande
Turco (orang Turki yang agung).
Berita wafatnya Sultan Muhammad
al Fatih pun sampai juga ke telinga Paus Sixtus. Dia segera kembali ke
Roma dan menembakkan meriam dari Castel Sant’Angelo, sebuah benteng
besar di Tiberius di dekat Basilika Santo Petrus dan Vatikan. Seluruh
lonceng dibunyikan dan Paus memimpin prosesi panjang yang melibat
seluruh kolose kardinal dan seluruh duta besar dari Basilika Santo
Petrus menuju gereja Santa Maria del Popoli.
Perayaan meriah
digelar selama tiga hari. Ketika berita itu sampai di belahan Eropa yang
lain, perayaan-perayaan itu diulangi lagi di sana. Eropa gemetar dan
tenggelam dalam euforia, ketika mendengar kabar bahwa Sultan Muhammad al
Fatih wafat.
Hal ini menggambarkan kepada kita betapa disegani dan
diperhitungkannya beliau sebagai seorang muslim. Setiap gerak beliau
begitu menggetarkan kekufuran. Kita akan kembali memiliki pemimpin
seperti beliau jika Khilafah Islamiyah kembali ditegakkan. Insyaallah
dalam waktu dekat.
Penulis: Sayf Muhammad Isa (Penulis Draculesti)
Posting Komentar