"Biarkan orang lain sibuk bekerja, berdagang, memproduksi barang dan jasa. Tapi kita (Yahudi) yang mencetak uang kertas untuk mereka, disitulah kekuasaan berada."
Riba adalah sumber kerusakan di dunia ini. Anehnya riba semakin populer dan kokoh mencengkram kita. Melalui Bank
Sentral, riba masuk ke kantong dan dompet kita berupa uang kertas dan
uang digital (fiat money). Riba adalah dosa besar setelah syirik dan
durhaka kepada orang tua, dosa teringan dari pelaku riba sama seperti
dosa barzina kepada orang tua!
Berabad yang lalu, para banco (rentenir
Yahudi) telah memperkenalkan riba yang terselubung dalam berbagai
modus, sehingga mayoritas umat Islam kini hampir tak mengenali lagi
bentuk dan wujud riba yang kian mewabah. Empat belas abad silam, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam telah bersabda: “Sungguh akan
datang kepada manusia, pada masa itu tidak ada seorang pun dari mereka
melainkan makan riba. Jika tidak memakan riba, ia akan terkena debunya.”(HR.
Abu Daud, Mishkat – dan Ibnu Majah). Di antara riba yang terselubung
adalah bank yang berlabel syariah, pasar saham syariah, uang kertas,
sampai kartu kredit syariah.
Tapi riba yang paling berbahaya tapi populer sehingga ia ada dalam
genggaman manusia adalah uang kertas.Uang kertas dilihat dari segi
fiqih, sudah jelas biangnya riba, ia mengandung sekaligus dua jenis
riba, yaitu riba al-fadl dan an-nasiah, riba uang kertas takkan dijumpai
dalam modus riba jenis lain. Riba al-fadl adalah kelebihan (surplus)
yang diperolehnya melalui pencetakan nominal uang di atas kertas, dengan
angka harga yang ditetapkan itu jauh di atas nilai intrinsiknya (harga
bendanya).
Misalnya uang Rp.100.000,- biaya intrinsiknya Rp.266,-/lembar, maka
kelebihannya adalah Rp.99.734. Inilah yang disebut riba tafadul (riba
yang ditentukan) atau disebut Seigniorge. Dan riba an-nasiah terjadi
karena penundaan pembayaran akhibat penimbunan uang (emas-perak) oleh
bank sentral di setiap negara. Ini menyebabkan neraca kredit
berjalan antar bilyet memaksa ditetapkannya bunga atas penundaan waktu
untuk kliring, yang disebut jasa penyewaan uang atau interest. (Sumber:
Dokumen Peruri & BI, Majalah Tempo, 25 Maret 2007).
Pertukaran uang kertas dengan berbagai barang dan jasa merupakan
pertukaran sesuatu yang ghaib dengan sesuatu yang nyata. Uang kertas
disebut ghaib karena pada hakikatnya uang kertas ini adalah banknote,
yaitu surat janji (note) dari bank yang menerbitkannya dan disebut bilyet. Nota ini merupakan dayn atau utang, padahal utang pada bilyet (banknote) tersebut tidak jelas kepada siapa ditujukannya? Dan kapan dilunasinya?
Uang kertas hadir lewat penipuan para bankir sejak abad ke-17 masehi,
yang mendompleng penjajahan bangsa Eropa terhadap bangsa lain, yang
populer disebut imperialisme. Bukti bahwa uang kertas itu tak berharga
sama sekali, misalnya Rp.100.000,-, sobek menjadi tiga serpihan atau
lebih, maka lenyaplah sihir dan janji pada bilyet itu! Karena Bank
Sentral menolak penukaran uang kertas yang termultilasi lebih dari dua
bagian. Dan Bank Sentral memperlakukan uang kertas sesuai masa
berlakunya, sehingga seseorang yang terlambat menukarkan uang kertas
lama menjadi uang kertas baru, akan kehilangan assetnya yang tersimpan
dalam uang kertas itu.
Bank Sentral: Alat Mengeruk Kekayaan
Bagaimana mereka melakukan ini? Sederhana. Pertama, mereka kuasai saham Bank Sentral, lalu mereka memulai aksinya. Katakanlah uang yang beredar di sebuah negara adalah 5 miliar riyal, kemudian Bank Sentral menerbitkan 15 miliar riyal baru yang diedarkan dalam bentuk pinjaman pembangunan. Maka jumlah uang yang beredar menjadi 20 miliar riyal, ini akan melemahkan daya beli dari 5 miliar riyal di masyarakat sebelumnya, karena nilainya tinggal 25% dari perekonomian. Inilah yang disebut inflasi. Lalu harga-harga melonjak, misalnya: semula 1 riyal = 1 kg kurma, dengan inflasi tadi kini 1 riyal = 1/4 kg kurma. Dengan demikian Bank Sentral mengontrol 75 % dari sirkulasi uang di negara tersebut. Tapi ini baru tahap I.
Bagaimana mereka melakukan ini? Sederhana. Pertama, mereka kuasai saham Bank Sentral, lalu mereka memulai aksinya. Katakanlah uang yang beredar di sebuah negara adalah 5 miliar riyal, kemudian Bank Sentral menerbitkan 15 miliar riyal baru yang diedarkan dalam bentuk pinjaman pembangunan. Maka jumlah uang yang beredar menjadi 20 miliar riyal, ini akan melemahkan daya beli dari 5 miliar riyal di masyarakat sebelumnya, karena nilainya tinggal 25% dari perekonomian. Inilah yang disebut inflasi. Lalu harga-harga melonjak, misalnya: semula 1 riyal = 1 kg kurma, dengan inflasi tadi kini 1 riyal = 1/4 kg kurma. Dengan demikian Bank Sentral mengontrol 75 % dari sirkulasi uang di negara tersebut. Tapi ini baru tahap I.
Karena nilai uangnya merosot, maka pengusaha kembali ke bank untuk
mengajukan pinjaman baru untuk tambahan modal, sebab ongkos produksi
menjadi mahal. Kaum buruh menuntut kenaikan upah agar dapat hidup layak,
karena naiknya harga-harga. Saat Bank Sentral cukup puas dengan tingkat
utang di masyarakat, mereka mulai mengetatkan suplai uang dengan
mempersulit pinjaman dan menaikkan suku bunga. Uang yang beredar justru
tersedot kembali ke Bank Sentral, karena suku bunga deposito yang
menarik. Kehidupan ekonomi terasa sulit bagi kaum miskin, sebab uang
sulit diperoleh, begitu dapat uang daya belinya rendah. Sebagian warga
terpaksa mencari uang tambahan agar dapat membeli kebutuhan mereka, kaum
buruh kerja lembur, dan yang lain bisnis sampingan. Hidup mereka
diforsir untuk mencari uang. Ini tahap II.
Tahap III, para bankir duduk manis dan menunggu sebagian debitur
gagal bayar dan bangkrut. Ini akan memberi kesempatan kepada bank untuk
menyita kekayaan riil, bisnis, properti dan sebagainya, dengan membayar
harga murah lewat kredit macet. Dengan demikian Bank Sentral dapat
meraih untung, meski sebelumnya mereka telah menguasai 75 % perekonomian
lewat inflasi uang. Pabrik dan bisnis menjadi lesu, sebagian buruh di
PHK, ibu-ibu menggadaikan emas perhiasan mereka untuk bertahan hidup dan
bea pesantren anaknya. Aset masyarakat terus tersedot ke bank. Bahkan
emas perak harus diekpor ke luar negeri sesuai permintaan para bankir
(baca: Kaum Yahudi).
Setelah itu mereka mulai menguasai industri vital, sumber daya alam, tanah, properti dan media
massa. Pemilik saham Bank Sentral negara ini kemudian berkomplot dengan
rekan mereka sesama Yahudi di pasar valuta asing (Valas). Konspirasi
ini untuk merontokan nilai uang kertas riyal negara Islam tersebut.
Kenapa? Sebab sulthan telah lancang menegakkan syariat Islam secara
kaffah, dengan mencetak nuqud nabawi dinar dirham sebagai wasilah
muamalah rakyatnya. Tentu saja Iblis murka dong.
Pabrik-pabrik dibuat seakan-akan kolaps, harga-harga kembali meroket,
bisnis-bisnis pindah ke luar negeri, pengangguran kembali marak dan
kriminal merajalela, rakyatpun panik. Dahulu mereka mengharamkan
demokrasi apalagi turun ke jalan, namun krisis ekonomi telah berubah
menjadi krisis sosial dan krisis kepercayaan publik. Semua orang
menyalahkan sulthan karena menegakkan Islam secara benar. Media massa
mulai menghujat pemerintah, LSM nasionalis menuding sulthan terlalu niaf
dan ketinggalan jaman, bahkan sulthan mulai dikait-kaitkan dengan Osama
bin Laden, karena sama-sama Islam fundamental. Islam kaffah zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasalam jangan diterapkan di zaman modern
ini.Batalkan nuqud nabawi sekarang! Zakat dan muamalah cukup dibayar
dengan riyal kertas. Begitu kira-kira tulisan di spanduk-spanduk
pendemo.
Demo berubah menjadi huru-hara. Dunia Internasional mengecam sulthan,
ulama panik dan mendesak sulthan untuk mengalah, asalkan Islam
dibiarkan hidup, meski hanya diseputar masjid saja. “Ibadah rutin & menuntut ilmu saja ya, jangan diterapkan sekarang, tunggu khilafah tegak dulu, baru Islam boleh kaffah dech” Kata investor Yahudi menasihati sulthan.
Pertanyaan: Apakah Riba boleh menjadi halal dengan terbitnya
Undang-undang? Apakah yang Haram menjadi Halal hanya karena mayoritas
manusia telah menggunakan barang Haram tersebut? Apakah sah status
darurat Anda ketika Pemerintah RI telah membolehkan dinar dirham beredar
sejak tahun 2000, sementara dakwah mengenai uang kertas = riba telah di
hadapan anda? Jawabnya cukup di dalam hati Anda saja.
Penulis: Sufyan al Jawi
Posting Komentar