Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Kondisi ini tidak lepas dari peranan para ulama yang disebut sebagai Walisongo (sembilan wali). Sedikit orang yang mengetahui siapa sebenarnya Walisongo dan berasal dari mana kah mereka.
Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam.
Pada tahun 1404 M (808 H) Sultan mengirim surat kepada para pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah dengan maksud untuk meminta sejumlah ulama agar diberangkatkan ke pulau Jawa. Para ulama yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kemampuan dalam segala bidang agar nantinya akan memudahkan proses penyebaran Islam.
Dengan keterangan di dalam kitab tersebut kita menjadi tahu bahwa sebenarnya Walisongo adalah para ulama yang sengaja diutus Sultan pada masa kekhalifahan Utsmani. Saat itu terdapat 6 angkatan keberangkatan yang masing-masing terdiri dari sembilan orang. Jadi jumlah sebenarnya bukan sembilan ulama tetapi jauh lebih banyak.
Angkatan satu dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim asal Turki yang berangkat pada tahun 1400an. Beliau adalah ulama yang memiliki keahlian dalam bidang politik dan sistem pengairan. Dengan berbekal keahlian tersebut maka beliau menjadi peletak dasar berdirinya kesultanan di pulau Jawa dan juga berhasil memajukan pertanian di pulau ini.
Angkatan pertama ini juga terdiri dari dua orang ulama yang berasal dari Palestina yaitu Maulana Hasanuddin dan Sultan Aliudin. Dua orang ulama ini berdakwah di Banten dan mendirikan kesultanan Banten. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Banten yang merupakan keturunan dari Sultan Hasanuddin memiliki hubungan secara biologis dengan rakyat Palestina.
Selain itu ada Syekh Ja'far Shadiq yang diberi julukan sebagai Sunan Kudus dan Syarif Hidayatullah yang disebut sebagai Sunan Gunung Jati. Kedua ulama ini juga berasal dari Palestina. Dalam proses dakwah beliau, Sunan Kudus membangun sebuah kota di Jawa Tengah yang kemudian disebut kota Kudus. Nama kota tersebut berasal dari kata Al Quds (Jerusalem).
Masyarakat Nusantara pertama kali mengenal Islam pada abad 7 Masehi atau abad 1 Hijriah. Pengaruh Islam sangat besar pada situasi politik saat itu. Dengan semakin berkembangnya ajaran Islam di Nusantara ketika itu, maka bermunculan lah berbagai kerajaan dan kesultanan Islam seperti Kesultanan Peureulak, Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang, Ternate, Tidore, Bacan (Maluku), Pontianak, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Kutai, Sambas, Banjar, Pasir, dan Sintang.
Sedangkan kesultanan yang berdiri di Jawa di antaranya adalah Demak, Pajang, Cirebon, dan Banten. Di Sulawesi, syariat Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Di Daerah Nusa Tenggara hukum Islam diterapkan dalam kesultanan Bima.
Perjalanan Dakwah Wali Songo
Sebelum tiba di tanah Jawa, pada umumnya para
ulama ini singgah terlebih dahulu di Pasai. Penguasa Samudera Pasai yang hidup
pada tahun 1349-1406 Masehi, Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah adalah orang
yang mengantarkan Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa.
Sejak tahun 1463 Masehi semakin banyak ulama Jawa
yang menggantikan ulama yang telah wafat atau berhijrah ke tempat lain. Para
ulama pengganti tersebut di antaranya:
- Raden Paku (Sunan Giri)
Beliau adalah putra Maulana Ishaq dengan Dewi
Sekardadu yang merupakan putri dari Prabu Menak Sembuyu Raja Blambangan.
- Raden Said (Sunan Kalijaga)
Beliau adalah putra Bupati Tuban, Adipati
Wilatikta atau disebut juga Raden Sahur. Berdasarkan sejarah masyarakat
Cirebon, julukan Kalijaga berasal dari nama salah satu desa di Cirebon bernama
Kalijaga. Saat Raden Said bermukim di desa tersebut, beliau sering berdiam diri
dengan berendam di kali (jaga kali).
- Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dengan Nyai
Ageng Manila. Nama Bonang berasal dari nama sebuah desa di Rembang.
- Raden Qasim Dua (Sunan Drajad)
Seperti halnya Sunan Bonang, beliau juga adalah
putra Sunan Ampel. Dengan demikian Sunan Drajad adalah saudara dari Sunan
Bonang.
Para ulama diberi gelar Raden yang berasal dari
kata Rahadian dan berarti Tuanku, maka dapat disimpulkan bahwa saat itu dakwah
Islam telah berjalan dengan baik dan mendapat kehormatan dari kalangan pembesar
Kerajaan Majapahit.
Para Ulama Penyebar Agama Islam Di Nusantara
Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H.
Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki,
ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia
Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari
Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli
mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia
(Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah.
Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri
dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina
8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran.
Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari :
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari :
1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim
2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim
Hubungan Kesultanan Nusantara Dengan Kerajaan
Islam di Turki dan Arab
Hubungan antara kerajaan Islam Aceh dengan
Khilafah Utsmaniyah juga dapat diketahui dari keterangan seorang sejarahwan,
Bernard Lewis, yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1563 Masehi pembesar
kerajaan Aceh mengutus seseorang ke Istanbul guna meminta bantuan melawan
Portugis. Dia berusaha meyakinkan Khilafah bahwa raja-raja di kawasan tersebut
telah bersedia memeluk Islam jika Khalifah Utsmaniyah mau menolong mereka.
Namun sayangnya pada saat itu Kekhalifahan
Utsmaniyah sedang mengalami berbagai permasalahan genting yaitu pengepungan
Malta dan Szigetvar di Hungaria dan mangkatnya Sultan Sulaiman Agung. Setelah
terhambat selama dua bulan akhirnya mereka membentuk sebuah armada perang yang
terdiri dari 19 unit kapal perang dan beberapa kapal pengangkut persenjataan
dan persediaan untuk dikirim ke Aceh.
Hal yang disayangkan adalah sebagian besar kapal
tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas
yang lebih mendesak yaitu memulihkan kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Kapal yang
tiba di Aceh hanya dua unit saja dan langsung digunakan untuk mengusir
Portugis. Catatan Sejarah mengenai hal ini dapat ditemukan dalam berbagai arsip
dokumen negara Turki dan buku-buku yang ditulis oleh sejarahwan dunia.
Selain itu dalam Bustanus Salatin karangan
Nuruddin ar-Raniri juga disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan
militer dari Khalifah Utsmaniyah berupa senjata disertai pengajar yang khusus
dikirim untuk mengajarkan cara pemakaiannya.
Kaitan antara kesultanan Banten dengan kerajaan
di Timur Tengah juga dapat terlihat dari gelar-gelar kehormatan yang diberikan
kepada para pembesar kerajaan Islam di Nusantara. Gelar tersebut di antaranya:
- Kesultanan Banten
Abdul Qadir dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir
Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu.
- Kesultanan Mataram
Pangeran Rangsang memperoleh gelar Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Matarami dari Syarif Mekah pada tahun 1641 Masehi.
Pada tahun 1652 hubungan antara kesultanan Aceh
dan Turki juga semakin erat dengan adanya pengiriman utusan Aceh ke Turki dalam
upaya meminta bantuan meriam. Khalifah Utsmaniyah mengirim 500 orang pasukan
Turki untuk mengawal pengiriman meriam dan amunisi.
Selanjutnya pada tahun 1567, Sultan Salim II
mengirim armada ke Sumatera. Melihat kedekatan antara kaum muslimin di
Nusantara dengan Kekhalifahan Utsmaniyah, seorang pejabat pemerintahan kolonial
Belanda, Snouck Hurgronje, mengatakan, "Di kota Mekah terletak jantung
kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah
segar ke seluruh penduduk Muslim di Nusantara."
Menjelang abad modern pun hubungan tersebut masih
terjalin baik, terbukti pada akhir abad 20 konsulat Turki di Jakarta pernah
membagikan Al Quran atas nama Sultan Turki. Istanbul juga pernah mencetak
tafsir Al Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili. Pada halaman
depan tafsir al Quran tersebut tertulis "Dicetak oleh Sultan Turki, raja
seluruh orang Islam." Pada saat itu yang disebut Sultan Turki adalah
Khalifah yang merupakan pemimpin Khilafah Utsmaniyah berpusat di Turki.
Snouck Hurgronje juga pernah mengatakan bahwa
pada umumnya rakyat di Indonesia terutama mereka yang tinggal di pelosok daerah
di seluruh tanah air, memandang Stambol (sebutan untuk Khalifah Utsmaniyah)
masih sebagai raja bagi seluruh orang mukmin yang saat itu kekuasaannya agak
berkurang karena adanya penguasaan orang kafir di Indonesia.
Melihat fakta-fakta sejarah tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa memang Nusantara pada jaman dahulu adalah bagian dari
khilafah baik saat kekuasaan Khilafah Abbasiyah Mesir maupun Khilafah
Utsmaniyah Turki.
Berdasarkan bentuk kekhalifahan saat itu, Syarif
Mekah adalah seorang gubernur pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah
Utsmaniyah untuk daerah Hijaz. Karena itu penganugerahan gelar sultan kepada
para pembesar kerajaan Islam di Nusantara lebih merupakan pengukuhan sebagai
penguasa Islam dan bukan gelar semata.
Sejarah Masuknya Agama Islam Di Indonesia
Sebelum kita mengenal beberapa teori tentang
penyebaran Islam di Nusantara, perlu di perhatikan bahwa Politik Luar Negeri
Negara Khilafah terdiri dari dua; Da’wah dan Jihad. Awalnya negeri yang
ditargetkan akan diberi dakwah, ketika menerima maka tidak ada perang di sana.
Namun, ketika menolak, maka akan terjadi Jihad dan Futuhat (Pembebasan). Dua
hal ini adalah politik Luar Negeri, dimana di setiap perkembangan akan
disampaikan kepada Khalifah.
Itu pula yang terjadi di Indonesia. Jika
penyebaran Islam di lakukan oleh pedagang semata, bukan Da’i atau utusan, maka
apakah akan ada laporan kepada Khalifah? Lalu, apakah penyebaran lewat jalur
perdagangan merupakan Politik Luar Negeri? Apakah penyebaran Islam dengan jalur
perdagangan hanya propaganda untuk menutupi bahwa Nusantara pernah menjadi
fokus dakwah Islam dan menjadi bagian dari Khilafah?
Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka
dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi
tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun
bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab.
Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang
terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu.
Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan
bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada
tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. 4 tahun kemudian, dinasti yang sama menerima
delegasi dari Tan Mi Mo Ni, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku
itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni tersebut merupakan utusan yang
dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang
dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim
yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Khilafah Umayyah saja,
terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti
Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China.
Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah
terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber
tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah
Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang
Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja,
untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran
Nusantara.
Beberapa catatan lain menyebutkan,
delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza,
sebutan lain dari Sriwijaya. Umumnya mereka mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya
yang sangat terkenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd
al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun 100 hijriah atau 718 Masehi, sudah
terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri
Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.
Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan
bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi
sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi,
orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke
Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan
terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.
Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di
Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling
berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan,
para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke
seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah
Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur.
Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di
Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah,
para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh
orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan
kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat
luwes, mudah dan sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa saat itu.
Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo
itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk
menelaah ajaran-ajaran Islam. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah
dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren
Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri berhasil mendidik ribuan santri yang
akhirnya dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia
Timur lainnya.
Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Penjajah Belanda Menghapuskan Jejak Khilafah
Pada masa penjajahan, Belanda berusaha
menghapuskan penerapan syariah Islam oleh hampir seluruh kesultanan Islam di
Indonesia. Salah satu langkah penting yang dilakukan Belanda adalah menyusupkan
pemikiran dan politik sekuler melalui Snouck Hurgronye. Dia menyatakan dengan
tegas bahwa musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama.
Dari pandangan Snouck tersebut penjajah Belanda
kemudian berupaya melemahkan dan menghancurkan Islam dengan 3 cara. Pertama:
memberangus politik dan institusi politik/pemerintahan Islam. Dihapuslah
kesultanan Islam. Contohnya adalah Banten. Sejak Belanda menguasai Batavia,
Kesultanan Islam Banten langsung diserang dan dihancurkan. Seluruh penerapan
Islam dicabut, lalu diganti dengan peraturan kolonial Belanda.
Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah, syariat Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekuler. Hukum-hukum sekuler ini terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.
Kedua: melalui kerjasama raja/sultan dengan penjajah Belanda. Hal ini tampak di Kerajaan Islam Demak. Pelaksanaan syariah Islam bergantung pada sikap sultannya. Di Kerajaan Mataram, misalnya, penerapan Islam mulai menurun sejak Kerajaan Mataram dipimpin Amangkurat I yang bekerjasama dengan Belanda.
Ketiga: dengan menyebar para orientalis yang dipelihara oleh pemerintah penjajah. Pemerintah Belanda membuat Kantoor voor Inlandsche zaken yang lebih terkenal dengan kantor agama (penasihat pemerintah dalam masalah pribumi). Kantor ini bertugas membuat ordonansi (UU) yang mengebiri dan menghancurkan Islam. Salah satu pimpinannya adalah Snouck Hurgronye.
Dikeluarkanlah: Ordonansi Peradilan Agama tahun 1882, yang dimaksudkan agar politik tidak mencampuri urusan agama (sekularisasi); Ordonansi Pendidikan, yang menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi; Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan setiap guru agama Islam memiliki izin; Ordonansi Sekolah Liar tahun 1880 dan 1923, yang merupakan percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam. Sekolah Islam didudukkan sebagai sekolah liar.
Demikianlah, syariat Islam mulai diganti oleh penjajah Belanda dengan hukum-hukum sekuler. Hukum-hukum sekuler ini terus berlangsung hingga sekarang. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di negeri ini saat ini merupakan warisan dari penjajah, sesuatu yang justru seharusnya dienyahkan oleh kaum Muslim, sebagaimana mereka dulu berhasil mengenyahkan sang penjajah: Belanda.
Posting Komentar