Ego, Id, dan Super-Ego


Pada tahap-tahap awal pengembangan sebuah pandangan komprehensif tentang psike, Freud mempertimbangkan bahwa pikiran dapat dipahami sebagai sebuah "sistem" dengan tiga wilayah yang berbeda: Alam Sadar, Pra-Sadar, dan Alam Bawah Sadar. Akan tetapi, pada awal 1920-an, dia telah mengubah teori ini dengan sebuah teori baru.

Freud pernah bicara tentang "Alam Sadar", dia sekarang membicarakan "ego", sebuah istilah (dari Bahasa Latin yang berarti "Saya") yang lahir dalam perkembangan disiplin psikologi abad kesembilan belas. Ego mengandung makna lebih dari diri yang sadar, meskipun ia mencakupnya; dalam teori baru Freud, ego adalah bagian atau wilayah pikiran yang membentuk permukaan luarnya dan yang mengembangkan indra persepsi dan pengalamanpengalaman kita di dunia ini. Sang ego adalah yang mempunyai pikiran-pikiran sadar, tetapi juga yang (tidak diketahui oleh pikiran sadar kita) terus-menerus mengancam dan memeriksa pikiran-pikiran dan impuls-impuls bawah sadar. Ego adalah diri sosial, diri yang sangat banyak diekspos, dan dipengaruhi oleh "realitas", dalam bentuk sensasi-sensasi dan kode-kode sosial.

Dapat dipahami, jika ego berkembang di luar pengalaman, kita tidak terlahir dengannya. Inti dari psike, yaitu yang selanjutnya dilapisi oleh ego, Freud menyebutnya se bagai "id", dari Bahasa Latin yang berarti "nya". (Dia mengklaim memperoleh istilah ini dari seorang fisikawan modern, Georg Groddeck, yang dipengaruhi oleh Nietzsche.)

Id ini adalah sang kegelapan, tidak sadar, pusat libido dari pengalaman dalam, tempat impuls-impuls dan nafsu-nafsu, sang kuda liar, untuk menggunakan metafora Freud, ditunggangi dan diawasi oleh sang ego. Sementara sang ego dengan sibuk (dan dalam keadaan tidak sadar) merepresi impuls-impuls yang menentang norma sosial dan tabu dari alam id, namun demikian, id berupaya untuk memengaruhi perilaku kita, dengan menyalurkan energinya ke dalam tindakan-tindakan yang telah disetujui oleh sang ego, atau kadang-kadang ke dalam tindakan-tindakan yang tidak dapat sepenuhnya kita pahami dan yang menimbulkan rasa bersalah.

Barangkali, cara termudah untuk memahami perbedaan dan dinamika antara ego dengan id adalah dengan memasangkan sifat-sifat mereka yang kontras. Ego bersifat koheren, id bersifat tidak koheren; ego rasional sifatnya, sedangkan id, tidak rasional. Menurut Freud, sang ego mengoperasikan "prinsip realitas" ("merespons pada tuntutan dan aturan-aturan dari dunia nyata), id mengoperasikan "prinsip kesenangan" (berupaya meminimalisasikan penderitaan dan gangguan, atau dengan kata lain untuk meminimalkan energi psikis). Ego berada pada permukaan dari aktivitas mental; sedangkan id berada pada kedalamannya. Ego adalah gambaran mental dari sensasi eksternal dan pengalaman; sedangkan id adalah representasi dari insting. Ego menjual konsep-konsep, terutama yang bersifat verbal (yang bersifat sadar adalah yang dapat dibicarakan); sedangkan id menjual simbol-simbol, terutama dalam bentuk visual.

Terkait komplikasi timbal balik antara ego dengan id ini, Freud telah menambahkan kekuatan ketiga, yaitu hasil pertumbuhan dan perkembangan dari ego dan yang dia sebut dengan istilah "ego-ideal" atau "super-ego". Superego menggambarkan harapan-harapan sang diri untuk muncul menjadi kenyataan, dan hal ini merupakan tempat bagi berbagai hal, seperti moralitas, kewajiban moral, dan kepercayaan. Berdasarkan kerja keras Freud, lahir konsep super-ego tepat ketika konsep Oedipus complex mulai meredup. Cara seorang anak laki-laki kecil, misalnya, untuk melenyapkan hasrat terlarangnya terhadap ibunya dan membenci ayahnya adalah untuk "menginternalisasikan" "objek-objek" ini (ibu dan ayah). Cinta terhadap sang ibu kemudian dibelokkan menjadi cinta kepada sang diri, atau lebih berupa cinta terhadap potensi diri untuk menjadi ideal; dan kebencian terhadap sang ayah dikalahkan oleh identifikasi yang sangat intens dengannya sebagai bagian yang lebih tinggi atau lebih superior dari sang diri.

Dengan demikian, berbagai ideal, moral, larangan, dan hukum dari kedua orangtua ini dapat diserap oleh pikiran, dan untuk selamanya setelah mengendalikan sang ego untuk bertanggung jawab. Superego, pada akhirnya, adalah bagian dari sang diri yaitu diri yang kritis, yang mengukur jarak antara realitas dengan yang ideal, dan yang menutup saluran energi yang menuju id agar dapat menghubungkan sang ego menuju tujuantujuan yang lebih tinggi. Freud menyebut proses ini dengan istilah "sublimasi", dan dengan upaya sublimasi ini, dia menjadi sumber dari prestasi-prestasi seni dan peradaban manusia, termasuk semua ide besar. 

Penulis : Michael Macrone

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama