Hedonic Treadmill

 


Money can’t buy happiness. Begitu sebuah kata mutiara pernah terdengar. Apakah memang demikian adanya?


Tulisan kali mencoba menjelajah hasil studi saintifik yang mengulik relasi rumit antara uang dan kebahagiaan. Dan seperti yang sebentar lagi akan kita baca, hasilnya menyodorkan jawaban yang mengejutkan.

Kebahagiaan adalah sebuah tema penting dalam hidup. Uang juga merupakan elemen krusial dalam kehidupan. Maka mari di pagi yang cerah ini kita telusuri dua tema penting ini : uang dan kebahagiaan.

Studi empirik yang mencoba melacak korelasi uang dan kebahagiaan sejatinya telah banyak dilakukan. Salah satunya yang terkenal, dilakukan oleh Daniel Kahneman, pakar ilmu “financial psychology” yang juga pemenang nobel ekonomi 2002.

Dalam risetnya itu ia menemukan fakta yang dikenal dengan istilah : income threshold. Inilah titik batas income yang akan menentukan apakah uang masih berdampak pada kebahagiaan atau tidak. Sebelum income menembus titik threshold itu, maka uang punya peran signifikan dalam menentukan kebahagiaan. Namun begitu income sudah menembus batas threshold itu, maka uang tidak lagi punya makna dalam menentukan kebahagiaan. 

Lalu berapa titik income threshold itu? Dalam kajiannya yang melibatkan ribuan responden di USA, angka batas income itu adalah USD 6000 per bulan. (Dengan mempertimbangkan perbedaan biaya hidup, mungkin angka USD 6000 itu ekivalen dengan angka Rp 15 – 20 juta per bulan, jika diubah dalam konteks Indonesia).

Penelitinya menulis : sebelum income menembus angka USD 6000 per bulan, uang punya peran besar dalam menentukan level kebahagiaan seseorang. Faktanya, beragam studi lain menyebut bahwa kondisi finansial yang terbatas merupakan salah satu pemicu utama stress dan depresi.

Namun, begitu income responden melampaui USD 6000, maka peran uang dalam membentuk kebahagiaan makin pudar dan pelan-pelan lenyap.

Artinya, orang dengan income USD 6500 misalnya akan memiliki level kebahagiaan yang tidak berbeda dengan orang dengan income USD 60.000 per bulan atau bahkan USD 6 juta per bulan. Dalam konteks itulah benar jika ada yang menyebut : semakin kaya Anda, belum tentu makin bahagia. Studi Kahneman menegaskan : makin tinggi income Anda, ternyata justru makin menurunkan peran variabel uang dalam menentukan kebahagiaan.

Pertanyaannya : kenapa makin tinggi income seseorang, ternyata makin menurunkan peran uang dalam membentuk kebahagiaan?

Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya, yang kemudian dikenal dengan nama “hedonic treadmill”. Gampangnya hedonic treadmill ini adalah seperti ini : saat gajimu 5 juta, semuanya habis. Saat gajimu naik 30 juta per bulan, eh semua habis juga. 

Kenapa begitu? Karena ekspektasi dan gaya hidupmu pasti ikut naik, sejalan dengan kenaikan penghasilanmu.

Dengan kata lain, nafsumu untuk membeli materi/barang mewah akan terus meningkat sejalan dengan peningkatan income-me. Itulah kenapa disebut hedonic treadmill : seperti berjalan diatas treadmill, kebahagiaanmu tidak maju-maju. Sebab nafsu-mu akan materi tidak akan pernah terpuaskan. Saat income 10 juta/bulan, naik Avanza. Saat income 50 juta/bulan naik Alphard. Ini mungkin salah satu contoh sempurna tentang jebakan hedonic treadmill. 

Hedonic treadmill membuat ekspektasimu akan materi terus meningkat. Itulah kenapa kebahagiaanmu stagnan, meski income makin tinggi. Sebab harapanmu akan penguasaan materi juga terus meningkat sejalan kenaikan income-mu.

Ada eksperimen menarik : seorang pemenang undian berhadiah senilai Rp 5 milyar dilacak kebahagiaannya 6 bulan setelah ia mendapat hadiah. Apa yang terjadi ? Enam bulan setelah menang hadiah 5 milyar, level kebahagaiaan orang itu SAMA dengan sebelum ia menang undian berhadiah. Itulah efek hedonic treadmill: karena nafsumu terus meningkat, kebahagiaanmu seolah berjalan di tempat, meski income melompat 10 kali lipat. Atau bahkan dapat hadiah 5 milyar. Jadi apa yang harus dilakukan agar kita terhindar dari jebakan hedonic treadmill? Lolos dari jebakan nafsu materi yang tidak pernah berhenti?

Disinilah relevan untuk terus mempraktekan gaya hidup yang minimalis yang bersahaja ( qona’ah ) : sekeping gaya hidup yang tidak silau dengan gemerlap kemewahan materi.

Prinsip hedonic treadmill adalah : more is better. Makin banyak materi yang kamu miliki makin bagus. Jebakan nafsu yang terus membuai. Makin banyak mobil yang kamu miliki, makin bagus. Makin banyak properti yang kamu beli makin tajir. Godaan nafsu kemewahan yang terus berkibar-kibar.

Gaya hidup minimalis punya prinsip yang berkebalikan : less is more. Makin sedikit kemewahan materi yang kamu miliki, makin indah dunia ini. Gaya hidup minimalis yang bersahaja punya prinsip : hidup akan lebih bermakna jika kita hidup secukupnya. When enough is enough.

Prinsip hidup bersahaja, yang tidak silau dengan kemewahan materi, justru akan membawa kita pada kebahagiaan hakiki.

Dalam istilah islam kita kenal dengan ” zuhud ” yaitu meletakkan materi duniawi pada tempatnya, sedikit atau banyaknya materi yang dimiliki tidak mengganggu ketaatan kepada Allah dan tidak merubah sikap sederhana dalam prinsip hidup bersahaja (boleh saja income dan materi terus bertambah, tetapi sikap dan gaya hidup tidak boleh berubah)

Sebab pada akhirnya, bahagia itu sederhana. Acapkali kita terlalu jauh mencari kebahagiaan yang mana sebenarnya hal tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, karena mindset kita yang selalu mengabaikannya atau bahkan memandang rendah nilai kebahagiaannya, maka yang banyak terjadi hanyalah sebuah pengejaran kebahagiaan semu. 

Maka seharusnya kita patut bertanya pada diri kita, seberapa sadarkah kita selama ini dalam menghargai, memaksimalkan dan bersyukur terhadap apa yang kita punyai sekarang?
 
Selamat menemukan kebahagiaan yang bersahaja.

Penulis : Rheynald Kasali

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama