Salah
satu hikmah penting yang dapat kita petik dari kasus pembantaian ribuan
kaum Muslim di Gaza oleh Israel adalah terbukanya pengetahuan umat
manusia tentang watak kaum Zionis Yahudi. Dunia kini bisa melihat secara
langsung kebrutalan kaum Yahudi. Kini, bahkan, anak-anak kecil di
berbagai belahan dunia pun dengan mudah memahami kejahatan Israel dan
sekutu-sekutunya.
Meskipun kejahatan kaum Yahudi ini begitu telanjang, ada baiknya kita
merenungkan dengan lebih mendalam, siapa sebenarnya bangsa yang begitu
banyak diceritakan kejahatannya dalam Al-Quran ini. Salah satu aktivitas
kalangan Yahudi yang banyak disebut dalam Al-Quran adalah hobi mereka
dalam merusak ajaran para Nabi, mencampur aduk yang benar dan yang
salah, serta menyembunyikan kebenaran.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil
dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengatahui.” (QS al-Baqarah: 42).
”Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Alkitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: ”Ini dari Allah.” (dengan
maksud) untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari
apa yang mereka lakukan.” (QS al-Baqarah: 79).
Itulah salah satu hobi kalangan Yahudi: merusak agama dan ajaran
para Nabi. Kaum Yahudi juga dikenal sebagai bangsa yang sangat rasialis.
Mereka mengaku sebagai satu-satunya bangsa yang menjadi kekasih Allah,
atau bangsa pilihan atau the choosen people. (QS 62: 6). Mereka
menolak kenabian Muhammad saw, karena Muhammad saw bukanlah dari
golongan mereka (Bani Israil)
. Bahkan, kemudian, mereka tidak henti-hentinya menaruh dengki dan dendam kepada Nabi Muhammad saw. (QS 2:89-90, 3:19).
. Bahkan, kemudian, mereka tidak henti-hentinya menaruh dengki dan dendam kepada Nabi Muhammad saw. (QS 2:89-90, 3:19).
Sikap rasialis kaum Yahudi itulah yang dikritik keras, misalnya, oleh
Dr. Israel Shahak, Profesor Biokimia di Hebrew University melalui
bukunya, Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994).
Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah
milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”,
tidak peduli di mana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to
persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’,
irrespective of where they live, and to them alone.” (hal. 3)
Karena kedengkian itulah, mereka menolak beriman kepada Nabi
Muhammad saw. Padahal, sebelumnya, mereka juga yang menyebarkan berita
kedatangan Nabi terakhir kepada penduduk Yatsrib. Tapi, mereka juga yang
menolak kedatangannya. (QS 61:6, 2:41). Tak hanya itu, karena
terdesak dan tertindas di Eropa, sebagian kalangan Yahudi kemudian
mengembangkan berbagai ajaran baru yang menyimpang dari ajaran para
Nabi. Salah satu ajaran yang dikembangkan untuk merusak agama-agama yang
ada adalah ajaran humanisme, yang sangat gencar dilancarkan oleh
kelompok Freemasonryry. Sebagai organisasi ”misterius”, peran kaum
Yahudi dalam Gerakan Freemasonry juga tidak dilakukan secara terbuka.
Tapi, dari para aktivis, misi, dan tujuannya, hal itu tampak jelas.
Will and Ariel Durant, dalam The Story of Civilization Part X
(Rousseau and Revolution), (New York: Simon and Schuster, 1967),
memaparkan peran Freemasonry dalam Revolusi Perancis, tahun 1789. Pada
27 Agustus 1789, Majelis Nasional mengumumkan “The Declaration of the
Rights of Man”. Dan pada 27 September 1791, the Constituent Assembly,
memberikan hak kewarganegaraan penuh kepada semua Yahudi di Perancis.
Dampak Revolusi Perancis adalah penciptaan negara sekular dan pembunuhan
serta pengusiran tokoh-tokoh Jesuit dari negara itu. Tentang
Freemasonry, dicatat dalam buku ini:
“they had to profess belief in ”the Great Architect of the universe”. No further religious creed was required, so that in general the Freemasons limited their theology to deism.” (hal. 939).
Dalam konteks Indonesia, kita perlu menelaah lebih jauh kelompok
Freemason ini. Bagi umat Islam, nama Freemasonryry sudah tidak asing
lagi. Organisasi ini pernah beroperasi di Indonesia selama 200 tahun.
Pada tahun 2004, Pustaka Sinar Harapan Jakarta menerbitkan sebuah buku
berjudul Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Buku karya Dr. Th. Steven ini aslinya berjudul “Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indië en Indonesië 1764-1962.”
Pada halaman persembahan, tertulis: ” Dipersembahkan kepada para
anggota dan mantan anggota dari Tarekat Mason Bebas di Hindia Belanda
dulu dan di Indonesia.” Sedangkan sampul bukunya dihiasai dengan foto
pelukis Raden Saleh dan Gedung Loge ”Ster in het Oosten”, yang sekarang
menjadi Gedung Bappenas.
Dijelaskan, bahwa misi organisasi ini adalah: ”Setiap insan Mason
Bebas mengemban tugas, dimana pun dia berada dan bekerja,untuk memajukan
segala sesuatu yang mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia.”
Cermatilah misi Freemasonry ini! Yakni, “menghapus pemisah antar manusia!”. salah satu yang dianggap sebagai pemisah antar manusia adalah ”agama”. Maka, jangan heran, jika banyak manusia kemudian berteriak lantang: ”semua agama adalah sama”. Atau, ”semua agama adalah benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu.”
Siapa pun Tuhan itu, tidak dipedulikan. Yang penting Tuhan! Ada yang
menulis bahwa agama adalah sumber konflik, sehingga perlu dihapuskan
secara perlahan-lahan. Freemasonry menyatakan tidak memusuhi agama,
tetapi misinya jelas menghapus pemisah antar manusia, termasuk di
dalamnya adalah agama.
Dalam buku karya Dr. Steven tersebut ditulis: ”Dalam tarekat Mason Bebas nilai tinggi kepribadian manusia berada di latar depan. Manusia sebagai individu dalam pemikiran Masonik ditempatkan secara sentral. Pekerjaan, pekerjaan rohani, dalam Tarekat Mason Bebas diarahkan pada penemuan wujud diri sendiri. Erat berhubungan dengan ini, asas-asasnya bertujuan memajukan apa yang dapat mempersatukan manusia dan melenyapkan apa yang dapat memisahkan manusia.” (hal. 2). Juga disebutkan, bahwa, ”Manusia mempunyai kemampuan dan hak untuk membentuk suatu kesadaran norma sendiri.” (hal. 3).
Sejak awal abad ke-18, Freemasonry telah merambah ke berbagai dunia.
Di AS, misalnya, sejak didirikan pada 1733, Freemasonry segera menyebar
luas ke negara itu, sehingga orang-orang seperti George Washington,
Thomas Jefferson, John Hancock, Benjamin Franklin menjadi anggotanya.
Prinsip Freemasonry adalah “Liberty, Equality, and Fraternity”. (Lihat, A New Encyclopedia of Freemasonry, (New York: Wing Books, 1996).
Tentu, di tengah dunia yang dipenuhi dengan diskriminasi dan
penindasan, jargon-jargon Freemasonry menarik banyak orang. Membaca buku
karya Dr. Steven tersebut, cukup kuat adanya indikasi pengaruh
pemikiran Freemasonry terhadap gagasan pengembangan nasionalis sekular
di Indonesia. Sebagai perbandingan, dapat diambil juga kasus yang
terjadi di Turki Utsmani. Harun Yahya, dalam bukunya, Ksatria-kstaria Templar Cikal Bakal Gerakan Freemasonryry (Terj.), mengungkap upaya kaum Freemasonry di Turki Utsmani untuk menggusur Islam dengan paham humanisme.
Dalam suratnya kepada seorang petinggi Turki Utsmani, Mustafa Rasid
Pasya, August Comte menulis, “Sekali Utsmaniyah mengganti keimanan
mereka terhadap Tuhan dengan humanisme, maka tujuan di atas akan cepat
dapat tercapai.” Comte yang dikenal sebagai penggagas aliran positivisme
juga mendesak agar Islam diganti dengan positivisme. Sikap anti-agama
diantara para tokoh Freemasonry juga sangat jelas. Salah satunya
dilakukan oleh Abdullah Cevdet, tokoh Gerakan Turki Muda. Ia menulis dan
menerjemahkan lebih 70 buku. Pada pengantarnya untuk terkemahan buku
Akli Selim (Akal Sehat), ia menulis:
”Akli Selim (akal sehat) adalah pemberontak yang suci, dan gelora kecintaan padanya terbakar dalam hati kita dan tidak akan pernah dapat dipadamkan… Tuhan kita adalah virtue (nilai kebaikan), namun virtue tidak akan mungkin terwujud tanpa kebebasan.”
Karena teracuni oleh ajaran Freemasonry, Abdullah Cevdet menjadi
begitu benci pada Islam. Menurut sejarawan Turki, Konyali Ibrahim Hakki,
ketika meninggal, jenazahnya diantar ke masjid Aya Sofia. Tapi, para
imam menolak untuk memberikan upacara pemakaman secara Islam. Akhirnya,
peti jenazahnya diambil alih oleh dewan kota.
Paham humanisme sekular adalah paham Freemasonry. Kaum Freemasonry
menegaskan, mereka menolak campur tangan agama dalam tempat-tempat
pemujaan mereka (loge). Seorang anggota Freemasonry di Indonesia, dalam
sebuah suratnya kepada Wakil Suhu Agung Freemasonry Hindia Belanda,
Carpentier Alting, menulis: ”Secara tepat, politik tidak diizinkan masuk ke dalam Tarekat, dan hal yang sama berlaku untuk agama.” (Dr. Th Steven, hal. 476).
Konsep kesetaraan (egalite) antara manusia yang menjadi slogan
Freemasonry sebenarnya juga bersifat ambigu. Sebab, dalam organisasi ini
pun, manusia dibeda-bedakan tingkatannya. Tapi, ke seluruh dunia,
mereka menggelorakan paham kesetaraan. Padahal, kaum Yahudi sendiri
tidak merasa setara dengan manusia lainnya. Praktik seperti ini juga
bisa kita lihat pada sistem dan aturan PBB. Hanya lima negara yang
mendapatkan hak istimewa memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB. Hingga
kini, kita melihat, hukum internasional pun tidak dapat menjangkau hak
istimewa yang dimiliki Israel.
Salah satu gagasan humanisme yang disebarluaskan secara universal
adalah konsep HAM, yang menolak berdasarkan pada agama. Maka, jangan
heran, jika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
ditetapkan tahun 1948 sarat dengan muatan humanisme dan tidak
berdasarkan agama tertentu. Mereka meletakkan nilai-nilai kemanusiaan di
atas agama-agama. Karena itulah, sejumlah pasalnya jelas-jelas
bertabrakan dengan konsep Islam. Kata mereka, konsep HAM itu universal
dan bisa diterima semua umat manusia. Faktanya, dunia Islam menolak
pasal 16 dan 18 DUHAM (tentang kebasan perkawinan dan kebebasan untuk
pindah agama). Dunia Islam mengajukan gagasan alternatif dalam Deklarasi
Kairo yang tetap mempertahankan faktor agama dalam konsep perkawinan
dan kebebasan beragama.
Kaum Yahudi tentu saja banyak yang aktif di organisasi seperti
Freemasonry ini. Di Turki Utsmani, tokoh-tokoh Yahudi di Freemasonry
memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran para aktivis Gerakan Turki
Muda. Bahkan, kuat sekali indikasinya, Yahudi merancang dan mendominasi
arah organisasi lintas agama ini. Dan ini sangat bisa dipahami. Selama
ribuan tahun Yahudi menjadi korban penindasan kaum Kristen di Eropa.
Dengan berkembangnya aktivitas Freemasonry, maka secara otomatis,
penindasan terhadap Yahudi bisa semakin diminimalkan. Karena itulah, di
Eropa organisasi yang membawa misi kaum Templar ini menjadi musuh
Gereja.
Cukup banyak bukti yang menunjukkan besarnya pengaruh Freemason dalam
pembentukan ideologi dan pemikiran Turki Muda. Ketika itu, aktivis
Freemasons memiliki hubungan erat dengan kelompok Osmanli Hurriyet
Cemiyati (The Ottoman Freedom Society) yang dibentuk tahun 1906. Tokoh
Freemason adalah Cleanthi Scalieri, pendiri loji The Lights of the East
(Envar-I Sarkiye), yang keanggotaannya meliputi sejumlah politisi,
jurnalis, dan agamawan terkemuka (seperti Ali Sefkati, pemimpin redaksi
koran Istiqbal dan Prince Muhammad Ali Halim, pemimpin Freemasonry
Mesir). Scalieri memiliki kedekatan hubungan dengan para pejabat penting
Utsmani. Dari sinilah, nucleus Gerakan Turki Muda dilahirkan.
Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa kepemimpinan Scalieri menentukan
sejumlah elemen Gerakan Turki Muda. Sampai sekitar 1895, loji-loji
Freemason sebagian besar “bermain” dalam bentuk klendestine dan
menghindari kontak langsung dengan kelompok-kelompok Turki Muda. Tetapi,
faktanya, anggota-anggota loji Freemason memainkan peranan penting
dalam proses liberalisasi dan oposisi terhadap Sultan Abdul Hamid II.
Sebagai contoh, anggota loji Scalieri yang bernama Ali Sefkati. Ia
adalah editor Koran Istikbal. Ia mempunyai kontak dan aktivitas yang
luas di berbagai kota di Eropa. Aktivitas politik Scalieri juga didukung
oleh kekuatan-kekuatan besar, terutama Inggris. Pentingnya Ali Sefkati
bagi Freemasons sejalan dengan hubungan dekatnya dengan pemimpin CUP,
Ahmed Riza. Bahkan, lingkaran pimpinan CUP sekitar Ahmed Riza, juga
mencakup sejumlah tokoh Freemasons, seperti Prince Muhammad ‘Ali Salim,
pimpinan Freemasons Mesir, yang telah diketahui oleh Sultan sejak
pertengahan 1890-an. Juga, di antara aktivis kelompok ini adalah Talat
Bey, yang bergabung dengan loji Macedonia Risorta, tahun 1903. (Lebih
jauh, lihat Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik
Yahudi-Kristen-Islam, (Jakarta: GIP, 2004).
Meskipun mengaku bukan sebagai satu agama tersendiri, tetapi
Freemasonry juga memiliki ajaran ketuhanan dan tata cara ritual
tersendiri. Buku Dr. Th Steven dihiasi dengan banyak foto tempat-tempat
pemujaan Freemasonry di Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, Palembang,
dan sebagainya. Sejumlah tokoh nasional juga disebutkan menjadi
anggotanya. Siapakah Tuhan yang dipuja pengikut Freemasonry? Tidak
jelas!
Dengan memposisikan dirinya di luar agama-agama yang ada, maka
Freemasonry lebih mengedepankan problematika kemanusiaan, lintas agama.
Humanisme menjadi paham panutan. Misi kemanusiaan yang tidak berdasarkan
agama inilah yang ironisnya, kini dicoba dikembangkan dalam berbagai
buku studi dan pemikiran Islam. Sadar atau tidak, masuknya misi ini
dimulai dengan upaya untuk menghilangkan klaim kebenaran (truth claim).
Jika umat beragama tidak lagi meyakini kebenaran agamanya sendiri, maka
dia menjadi pembenar semua agama. Sikap netral agama dianggap sebagai
sikap ilmiah, elegan, dan terpuji. Orang yang meyakini kebenaran
agamanya sendiri dianggap sebagai orang jahat, arogan, dan tidak
toleran.
Simaklah berbagai pernyataan berikut yang sejalan dengan pemikiran
lintas agama gaya Freemasonry. Dalam buku Agama Masa Depan, karya Prof.
Komaruddin Hidayat (rektor UIN Jakarta) dan M. Wahyuni Nafis, ditulis:
“Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama,
walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya
yang berbeda-beda.” (hal. 130).
Dalam sebuah buku berjudul Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama
(2008) dikatakan: “…bila Anda telah menancapkan komitmen untuk membangun
rumah tangga beda iman, jalani dengan tenang dan sejuk dinamika ini.
Tidak perlu dirisaukan dan diresahkan. Yang terpenting, mantapkan iman
Anda dan lakukan amal kebaikan kepada manusia. Semua itu tidak percuma
dan sia-sia. Beragama apapun Anda, amal kebaikan dan amal kemanusiaan
tetap amal kebaikan. Pasti ada pahalanya dan akan disenangi Tuhan.”
(hal. 235).
Konsep humanisme sekular jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Sebab, umat Islam mendasarkan rasa dan hubungan kemanusiaan berdasarkan
atas iman Islam. Bukan perasaan kemanusiaan semata. Karena itu,
misalnya, Islam jelas menolak konsep perkawinan sesama jenis dan lintas
agama, meskipun didasarkan atas dasar kemanusiaan. Dalam Islam,
persaudaraan atas dasar iman lebih tinggi nilainya dibandingkan
persaudaraan darah. Disebutkan dalam Al-Quran:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak,
saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan
keimanan di hatinya dan menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan
mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah
“hizbullah”. Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya “hizbullah” itulah yang
pasti menang.” [al Mujadalah:22].
Jika umat Islam kini menggelorakan semangat memboikot produk-produk
Yahudi atau para pendukungnya, seharusnya yang perlu diboikot pertama
kali adalah paham-paham produksi kaum Yahudi yang jelas-jelas merusak
aqidah Islam dan bertentangan ajaran Tauhid, ajaran para Nabi saw.
Wallahu A’lam.
(Baca juga : Gurita Yahudi Menjerat Indonesia)
Posting Komentar