Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) -yang benar- selain Dia, dan [bersaksi pula] para malaikat serta orang-orang yang berilmu, demi tegaknya keadilan. Tiada ilah [yang benar] selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran: 18)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, karena Allah
adalah [sesembahan] yang benar, adapun segala yang mereka seru selain Allah
adalah batil. Dan sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS.
Al-Hajj: 62)
Dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang
yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu
saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Mu’adz di atas seekor
binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Wahai Mu’adz.”
Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.”
Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.” Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan
senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Lalu Nabi bersabda, “Tidak
ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali
Allah pasti mengharamkan dia tersentuh api neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada
orang-orang agar mereka bergembira?”. Beliau menjawab, “Kalau hal itu
disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”.
Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadits ini karena khawatir
terjerumus dalam dosa [akibat menyembunyikan ilmu] (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid Misi Utama Dakwah Para Nabi dan Rasul
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus sebelum
engkau [Muhammad] seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; tidak
ada ilah [yang benar] selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya’:
25)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Maka setiap kitab suci yang
diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada
ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik-
tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” “Maka
setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun telah
mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik sama sekali tidak
memiliki hujjah/landasan yang kuat atas perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di
sisi Rabb mereka. Mereka layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat
keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/337-338] cet. Dar
Thaibah)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus
kepada setiap umat seorang rasul [yang berseru]: Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)
Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para
rasul itu berporos pada tiga perkara:
1. Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui
nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
2. Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan
mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir, bersyukur, dan beribadah
kepada-Nya
3. Menerangkan kepada mereka tentang balasan yang akan mereka terima
sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling
utama di antaranya adalah keridhaan Allah dan kenikmatan memandang wajah-Nya
dan Allah pun mengajak bicara dengan mereka (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal.
16-17)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah lah yang telah
menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula. Turunlah perintah-Nya
di antara itu semua. Supaya kalian mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Dan bahwasanya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” (QS.
ath-Thalaq: 12).
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam
(yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku.
Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah
jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Tanggapan Kaum Musyrikin Terhadap Dakwah Tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka merasa keheranan
tatkala datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka,
dan orang-orang kafir itu pun berkata: Ini adalah tukang sihir dan pendusta.
Apakah dia [Muhammad] hendak menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu
sesembahan saja? Sungguh, ini adalah perkara yang sangat mengherankan.” (QS.
Shod: 4-5)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidak datang
kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka (kaumnya)
berkata: tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan dengannya?
Bahkan mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat:
52-53)
Tauhid Perintah Yang Paling Agung
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan: Janganlah
kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya, dan kepada kedua orang tua hendaklah
kalian berbuat baik.” (QS. Al-Israa’: 23)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya tauhid menjadi perintah yang paling agung disebabkan ia merupakan
pokok seluruh ajaran agama. Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memulai dakwahnya dengan ajakan itu (tauhid), dan beliau pun memerintahkan
kepada orang yang beliau utus untuk berdakwah agar memulai dakwah dengannya.”
(lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 41)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu
ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan
mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara
pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam
sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu
ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu
berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah
kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan
berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh sekian atau enam
puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah dan
yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu adalah
salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara; tauhid kepada Allah, mendirikan
sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tauhid Kunci Keselamatan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada pamannya -Abu Thalib- menjelang kematiannya,
“Ucapkanlah laa ilaha illallah; yang dengan kalimat itu aku akan bersaksi untuk
menyelamatkanmu pada hari kiamat.” Akan tetapi pamannya itu enggan. Maka Allah
menurunkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan
petunjuk (hidayah taufik) kepada orang yang kamu cintai, dst.” (QS. Al-Qashash:
56) (HR. Muslim)
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus
menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak
hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa
[kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Telah datang Jibril ‘alaihis salam kepadaku dan dia memberikan kabar
gembira kepadaku; bahwa barangsiapa diantara umatmu yang meninggal dalam
keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti masuk
surga.” Lalu aku berkata, “Meskipun dia pernah berzina dan mencuri?”. Dia
menjawab, “Meskipun dia berzina dan mencuri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang benar kecuali Allah semata tiada sekutu bagi-Nya dan
bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan Isa adalah hamba Allah dan
utusan-Nya serta kalimat-Nya yang
diberikan-Nya kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bersaksi bahwa surga adalah
benar dan neraka adalah benar, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga
bagaimana pun amalannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tafsir Kalimat Tauhid
Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui
dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali
Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata
ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung
penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan
penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah
pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada
sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah
kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat
Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung
makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah adalah
mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang bernilai ibadah
-secara lahir maupun batin- seperti halnya sholat, puasa, zakat, haji,
menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap, tawakal, roghbah, rohbah, doa,
dan lain sebagainya yang telah disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya.
Dengan kata lain, tauhid ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada
Allah semata; sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah
maka dia termasuk golongan orang kafir dan musyrik (lihat Ibnu Rajab al-Hanbali
wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)
Landasan Penafsiran
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menjadi
landasan atas penafsiran di atas. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya mereka dahulu, apabila dikatakan kepada mereka laa
ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri (menolaknya). Mereka berkata:
Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena mengikuti
seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata
kepada ayah dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian
sembah, kecuali Dzat yang menciptakan diriku, karena sesungguhnya Dia pasti
akan memberikan petunjuk kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa
(beribadah) kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas
tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi
Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. Al-Mukminun:
117)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka
diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama
untuk-Nya dengan menjalankan ajaran yang hanif, mendirikan sholat, dan
menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Adapun dalil dari as-Sunnah, diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah -dalam sebagian
riwayat disebut ‘barangsiapa yang mentauhidkan Allah’- dan mengingkari segala
sesembahan selain Allah maka terjaga harta dan darahnya, sedangkan hisabnya
adalah urusan Allah.” (HR. Muslim dari Thariq al-Asyja’i radhiyallahu’anhu)
Penjabaran Tafsir Kalimat Tauhid
Dari keterangan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, teranglah
bagi kita bahwa makna laa ilaha illallah adalah ‘tidak ada sesembahan yang
benar selain Allah’, atau dengan ungkapan lain ‘tidak ada yang berhak diibadahi
kecuali Allah’. Artinya, segala macam bentuk ibadah hanya boleh ditujukan
kepada Allah. Barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain
Allah maka dia telah berbuat kesyirikan dan keluar dari Islam.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh
sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan
rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in‘. Bagian
yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari
syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap
berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala
urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam
banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet.
at-Taufiqiyah)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah berkata, “Di
dalamnya terkandung penetapan tauhid uluhiyah. Dikedepankannya objek yaitu kata
Iyyaka memberikan makna pembatasan. Sehingga memberikan arti; “Kami
mengkhususkan ibadah dan isti’anah/permintaan tolong hanya kepada-Mu, dan kami
tidak mempersekutukan siapa pun bersama-Mu.”.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani,
hal. 57)
Pengertian Tauhid Uluhiyah
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, “Tauhid
uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti
dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta
perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib
ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam
hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)
Pengertian Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah juga bisa didefinisikan dengan: mengesakan Allah dalam
hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian
dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 189).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Siapakah yang memberikan
rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai
pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang
mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang
mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan menjawab, Allah. Maka katakanlah,
Lalu mengapa kalian tidak bertakwa.” (QS. Yunus: 31) (lihat al-Qaul al-Mufid
‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat juga Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34)
Pengakuan Orang Musyrik Terhadap Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah adalah sesuatu yang telah menjadi fitrah manusia dan
hakikat yang diterima oleh akal sehat mereka. Orang-orang kafir sekalipun
sebenarnya mengimani hal ini di dalam hatinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika engkau
(Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi?
Tentu mereka akan menjawab,
‘Yangmenciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui’.” (QS. az-Zukhruf: 9)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan
kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab:
Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS.
az-Zukhruf: 87).
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun
mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh
al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir
al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167])
Tauhid Rububiyah Saja Belum Cukup!
Iman terhadap rububiyah Allah belum bisa memasukkan ke dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman
kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf:
107).
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik-
beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu
tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka
akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka
juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556])
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib
diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan
tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah
(mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan
ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).
Konsekuensi Tauhid Rububiyah
Tauhid rububiyah memiliki banyak konsekuensi bagi hamba, diantaranya
adalah:
- Mengikhlaskan ibadah kepada Allah semata (baca: tauhid uluhiyah)
- Ridha terhadap perintah dan larangan-Nya (baca: tunduk kepada syari’at)
- Ridha terhadap takdir yang ditetapkan-Nya (baca: sabar)
- Ridha terhadap rizki dan pemberian-Nya (baca: qona’ah)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah menjelaskan,
“Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb
memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan
perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku
adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala
juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.”
(QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh alam memiliki
konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan sia-sia
atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka. Akan
tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka
supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah
yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang
durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa
yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka dia
akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha terhadap
apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang menimpanya, ridha
terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha kepada-Nya tatkala Allah
tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna,
hal. 97)
Prioritas dan Tujuan Utama Dakwah Islam
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah -hai Muhammad-:
Inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah di atas landasan bashirah/ilmu.
Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, aku
bukan tergolong bersama golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud dengan dakwah ila Allah (mengajak manusia menuju Allah)
adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, bukan dalam rangka meraih
ambisi dunia, kepimpinan (baca: kursi), dan tidak juga kepada
hizbiyah/fanatisme golongan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal.
45).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih
cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu
cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena tauhid [uluhiyah] adalah cabang keimanan yang tertinggi maka
mendakwahkannya merupakan dakwah yang paling utama. Syaikh Abdul Malik
Ramadhani hafizhahullah berkata, “Oleh sebab itu para da’i yang menyerukan
tauhid adalah da’i-da’i yang paling utama dan paling mulia. Sebab dakwah kepada
tauhid merupakan dakwah kepada derajat keimanan yang tertinggi.” (lihat Sittu
Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 16)
Salah satu alasan yang semakin memperjelas betapa pentingnya -bahkan
wajib- memprioritaskan dakwah kepada manusia untuk beribadah kepada Allah
(baca: dakwah tauhid) adalah karena inilah tujuan utama dakwah, yaitu untuk
mengentaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah menuju penghambaan
kepada Allah semata. Selain itu, tidaklah ada kerusakan dalam urusan dunia yang
dialami umat manusia melainkan sebab utamanya adalah kerusakan yang mereka
lakukan dalam hal ibadah mereka kepada Rabb jalla wa ‘ala (lihat Qawa’id wa
Dhawabith Fiqh ad-Da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 249 oleh
‘Abid bin Abdullah ats-Tsubaiti penerbit Dar Ibnul Jauzi cet I, 1428 H)
Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah memaparkan, bahwa manusia itu
bermacam-macam. Bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid
-secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk
mempelajarinya. Atau mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global
tetapi tidak secara rinci maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya. Atau
mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci
maka mereka tetap butuh senantiasa diingatkan tentang tauhid serta terus mempelajari
dan tidak berhenti darinya. Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya ‘kan sudah
menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah
tauhid.” atau, “Isu seputar tauhid sudah habis, jadi kita pindah saja kepada
isu yang lain.” Tidak demikian! Sebab, tauhid tidak bisa ditinggalkan menuju
selainnya. Akan tetapi tauhid harus senantiasa dibawa bersama yang lainnya.
Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air
dan udara (lihat dalam video ceramah beliau al-I’tisham bi as-Sunnah,
al-sunna.net)
Doa Intisari Ibadah
Intisari ibadah adalah doa/permintaan. Tidaklah seorang hamba melakukan
suatu bentuk ibadah melainkan dia mengharapkan pahala dan keselamatan dari
siksa. Ini artinya secara lisanul hal itu menunjukkan bahwa apa yang dia
lakukan sebenarnya juga mengandung doa/permintaan. Adakalanya perbuatan (amal
ibadah) itu juga disertai doa dengan lisannya, dan adakalanya tidak disertai
doa/permohonan (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/162] cet.
Maktabah al-Ilmu, lihat juga al-Mujalla fi Syarh al-Qawa’id al-Mutsla, hal. 37)
Oleh sebab itu kita dapati banyak perintah untuk berdoa kepada Allah
dan larangan untuk berdoa kepada selain Allah, yang pada hakikatnya itu juga
mencakup perintah beribadah kepada Allah dan larangan beribadah kepada
selain-Nya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu
adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa
kalian kepada- Allah.” (QS. al-Jin: 18). Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah
menjelaskan, “Artinya janganlah kalian beribadah kepada siapapun selain
kepada-Nya.” (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 15)
Syirik Kezaliman Terbesar
Berdoa/beribadah kepada selain Allah merupakan suatu bentuk kezaliman.
Karena selain Allah tidak menguasai manfaat ataupun madharat. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu berdoa kepada selain Allah, sesuatu
yang jelas tidak kuasa memberikan manfaat dan madharat kepadamu. Kalau kamu
tetap melakukannya maka kamu benar-benar termasuk orang yang berbuat zalim.”
(QS. Yunus: 106). Imam Abul Qasim al-Qusyairi rahimahullah menjelaskan bahwa
yang dimaksud doa di dalam ayat ini adalah ibadah (lihat Fath al-Bari [11/107]
cet. Dar al-Hadits)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, maka mereka itulah
orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata: Ketika turun ayat
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman
(yaitu syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan
dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (QS. al-An’aam: 82).
Maka, hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka pun mengadu, “Siapakah diantara kami ini yang tidak menzalimi
dirinya sendiri?”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak seperti yang kalian sangka. Sesungguhnya yang dimaksud adalah seperti
yang dikatakan Luqman kepada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu berbuat
syirik. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS.
Luqman: 13).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam
neraka.” Dan aku -Ibnu Mas’ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan
masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keluasan Cakupan Makna Ibadah
Sebagaimana sudah diterangkan di depan, bahwa makna kalimat tauhid ini
adalah keyakinan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dengan
demikian ibadah apa saja -lahir maupun batin- hanya boleh dipersembahkan kepada
Allah, tidak kepada selain-Nya. Dari sinilah sangat penting bagi kita untuk
kemudian memahami apa saja perkara yang termasuk dalam cakupan ibadah; sehingga
kita bisa mengikhlaskannya untuk Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya
dalam ibadah dengan sesuatu apapun.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memberikan sebuah
definisi yang cukup bagus, bahwa ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah
yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang
dituntunkan dalam syari’at-Nya (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 23 cet.
Dar al-Kutub al-’Ilmiyah)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at
ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta,
ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/34] cet.
al-Maktabah at-Taufiqiyah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah merupakan
sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah,
berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat,
zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada
kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan
yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun
kepemilikan dari kalangan manusia (budak) atau binatang piaraan, berdoa,
berdzikir, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah.
Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah,
inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi
ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisalnya [itu
semua juga] termasuk ibadah kepada Allah.” (lihat al-’Ubudiyah, hal. 6 cet.
Maktabah al-Balagh)
Dengan ungkapan yang lebih sederhana, dapat disimpulkan bahwa ibadah
adalah melakukan segala sesuatu yang membuat Allah subhanahu wa ta’ala ridha
(lihat al-Qamus al-Mubin fi Ishthilahat al-Ushuliyyin karya Dr. Mahmud Hamid
‘Utsman, hal. 204)
Pilar-Pilar Ibadah
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah
dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka
seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan
pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan
kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya.
Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari
keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet.
Mu’assasah Aasam)
Syarat Diterimanya Ibadah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak
mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (QS.
Al-Kahfi: 110).
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika
ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan
itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar.
Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas
Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar
al-Hadits).
Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niat. Dan
setiap orang akan mendapat balasan sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan
atau karena wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia
niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini
yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak
ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran
agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita
beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya
dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia
melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah
kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
Kedudukan Aqidah Tauhid Di Dalam Islam
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara; barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada
dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Orang yang menjadikan Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. Dia mencintai
seseorang semata-mata karena kecintaannya kepada Allah. Dia tidak suka kembali
kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dia darinya, sebagaimana dia tidak
suka dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada
dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman dan kelezatannya. Yaitu
apabila Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain
keduanya. Dia mencintai karena Allah dan membenci juga karena Allah. Dan
tatkala dia lebih suka untuk dilemparkan ke dalam kobaran api yang menyala-nyala
daripada harus mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Nasa’i,
disahihkan Syaikh al-Albani)
Kelezatan iman inilah yang akan mengokohkan pijakan keislaman seorang
hamba. Sehingga dia tidak akan goyah karena iming-iming dunia atau ancaman
senjata. Heraklius berkata kepada Abu Sufyan, “Aku pun bertanya kepadamu
mengenai apakah ada diantara mereka -pengikut nabi- yang murtad karena marah
terhadap ajaran agamanya setelah dia masuk ke dalamnya? Kamu menjawab, tidak
ada. Maka demikian itulah yang terjadi apabila kelezatan iman telah merasuk dan
teresap di dalam hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedudukan Amalan Hati Dalam Timbangan Syari’at
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam.
Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka
barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap
sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka
dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik
bertentangan dengan islam. Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat
laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang
tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama
selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa
yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan
di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali
‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok
agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati,
dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat
Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang mencermati
syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan mengetahui
betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati. Bahwa amalan
anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan amalan hati lebih wajib
daripada amalan anggota badan. Apakah yang membedakan antara mukmin dengan
munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati masing-masing di
antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung daripada ibadah
anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah hati wajib di
sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu, barangsiapa
yang mengagungkan perintah-perintah Allah, sesungguhnya hal itu lahir dari
ketakwaan di dalam hati.” (QS. al-Hajj: 32). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging maupun darahnya (kurban), akan
tetapi yang akan sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.” (QS. al-Hajj:
37).
Pokok Amal Ketaatan dan Ruh Ketauhidan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Kecintaan
merupakan pokok agama Islam yang menjadi poros segala ajaran agama. Dengan
kesempurnaan cinta maka sempurnalah agama islam, dan dengan berkurangnya cinta
maka berkuranglah tauhid seorang insan. Yang dimaksud dengan cinta di sini
adalah kecintaaan penghambaan yang mengandung perendahan diri dan ketundukan
serta ketaatan secara mutlak dan lebih mendahulukan sosok yang dicintai dari
segala sesuatu selain-Nya. Kecintaan semacam ini murni untuk Allah, tidak boleh
dipersekutukan dengan-Nya dalam hal ini sesuatu apapun.” (lihat al-Irsyad ila
Shahih al-I’tiqad, hal. 84)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah
kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk
apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi
menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi
karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya
makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi
obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia
merupakan hakikat/intisari ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk
ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya
sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet.
Maktabah al-’Ilmu)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Pemuja dunia telah keluar dari
dunia, sedangkan mereka belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di
dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau
menjawab, “Mengenal Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli
al-Atsar, hal. 28 cet. Dar al-Imam Ahmad).
Yang dimaksud mengenal Allah di sini bukan sekedar wawasan, dimana
orang yang taat dan durhaka sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud adalah
pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta kepada-Nya,
ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya,
bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan
rela meninggalkan makhluk untuk mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma’
al-Husna, hal. 22)
Jalan Untuk Merealisasikan Tauhid
Cara mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Inilah
hakikat ketakwaan yang membuat hamba menjadi mulia di sisi-Nya. Syaikh Shalih
bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya cara
mengagungkan Allah adalah dengan merealisasikan tauhid. Barangsiapa yang
merealisasikan tauhid berarti dia telah mengagungkan-Nya. Dan barangsiapa yang
menyia-nyiakan tauhid sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan hak Allah, meskipun
sujud telah membekas di dahinya, walaupun puasa telah meninggalkan bekas di
kulit yang membungkus tulangnya. Maka itu semua tidak ada artinya…” (lihat
Syarh Kasyfu asy-Syubuhat fi at-Tauhid, hal. 4)
Merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal:
syirik, bid’ah, dan maksiat. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
menjelaskan, “Yang dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan
dan memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus dalam
perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia telah
merealisasikan tauhidnya…” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).
Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia
juga harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul
as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 32). Sehingga tidak akan terkumpul pada
diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik
pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata
kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala
yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara
kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau
beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Tanpa Hidayah-Nya Kita Tidak Bisa Berbuat Apa-Apa
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah pengetahuan
tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan lebih
mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat hidayah
adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar menginginkannya.
Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba. Oleh
sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya
hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam dalam sholat lima waktu
yang kita lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba membutuhkan ilmu untuk bisa
mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap gerakan lahir maupun batin.
Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan sosok yang memberikan
ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga kemauan itu tertancap kuat di dalam hatinya. Setelah itu,
dia juga masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu melakukan hal itu.
Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang tidak diketahui oleh
seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak daripada apa yang sudah
diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua kebenaran yang diketahuinya itu
secara otomatis dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya menghendakinya, tetap saja
dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir
‘ala at-Tafsir [1/25-26])
Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Kebutuhan seorang
muslim terhadap hidayah menuju jalan yang lurus lebih besar daripada
kebutuhannya kepada makanan dan minuman. Sebab makanan dan minuman adalah bekal
untuknya dalam kehidupan dunia, sedangkan hidayah jalan yang lurus adalah
bekalnya untuk negeri akherat. Oleh sebab itulah terdapat doa untuk memohon
hidayah menuju jalan yang lurus ini di dalam surat al-Fatihah yang ia wajib
untuk dibaca dalam setiap raka’at sholat; baik sholat wajib maupun sholat
sunnah.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 114)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan [menuju keridhaan] Kami. Dan sesungguhnya Allah akan bersama dengan
orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. al-’Ankabut: 69)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tetapi Allah menjadikan kamu
cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah di dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus (ar-Rasyiduun).” (QS.
al-Hujurat: 7).
Hati yang sehat dan sempurna memiliki dua karakter utama. Pertama;
kesempurnaan ilmu, pengetahuan, dan keyakinan yang tertancap di dalam hatinya.
Kedua; kesempurnaan kehendak hatinya terhadap segala perkara yang dicintai dan
diridhai Allah ta’ala. Dengan kata lain, hatinya senantiasa menginginkan
kebaikan apapun yang dikehendaki oleh Allah bagi hamba-Nya. Kedua karakter ini
akan berpadu dan melahirkan profil hati yang bersih, yaitu hati yang mengenali
kebenaran dan mengikutinya, serta mengenali kebatilan dan meninggalkannya.
Orang yang ilmunya dipenuhi dengan syubhat/kerancuan dan keragu-raguan, itu artinya
dia telah kehilangan karakter yang pertama. Adapun orang yang keinginan dan
cita-citanya selalu mengekor kepada hawa nafsu dan syahwat, maka dia telah
kehilangan karakter yang kedua. Seseorang bisa tertimpa salah satu perusak hati
ini, atau bahkan -yang lebih mengerikan lagi- tatkala keduanya bersama-sama
menggerogoti kehidupan hatinya (lihat al-Qawa’id al-Hisan, hal. 86)
Mewaspadai Bahaya Syirik
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan
siksaannya, ‘Seandainya kamu memiliki kekayaan seluruh isi bumi ini apakah kamu
mau menebus siksa dengannya?’. Dia menjawab, ‘Iya.’ Allah berfirman, ‘Sungguh
Aku telah meminta kepadamu sesuatu yang lebih ringan daripada hal itu tatkala
kamu masih berada di tulang sulbi Adam yaitu agar kamu tidak
mempersekutukan-Ku, akan tetapi kamu tidak mau patuh (enggan) dan justru
memilih untuk berbuat syirik.’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahaya syirik [besar] banyak sekali, diantaranya adalah:
- Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (an-Nisaa’: 48)
- Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (at-Taubah: 5)
- Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (al-Furqan: 23)
- Pelakunya haram masuk surga (al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang
paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu
bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Abdullah berkata,
“Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar.”
Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau
menjawab, “Lalu, kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.”
Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau
menjawab, “Lalu, kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami tampakkan apa yang
dahulu telah mereka amalkan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang
beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Setiap amal
yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus
dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama
sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang
benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang
berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti
bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada
orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya,
maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla
(yang artinya), “Kami tampakkan kepada mereka segala sesuatu yang telah mereka
amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan amal-amal itu laksana debu yang
beterbangan.” (QS. al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’
al-Qawa’id, hal. 11)
Khawatir Terjerumus Dalam Syirik
Sebagai seorang muslim, semestinya kita merasa takut terjatuh ke dalam
syirik. Allah ta’ala berfirman tentang doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim
‘alaihis salam (yang artinya), “Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah
patung.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim at-Taimi rahimahullah -salah seorang ulama ahli ibadah dan
zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan,
“Maka, siapakah yang bisa merasa aman [terbebas] dari musibah [syirik] setelah Ibrahim
-‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman
bin Hasan alusy Syaikh, hal. 32)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim
‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau
adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu
bagaimana menurutmu dengan orang-orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu
merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan.
Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah
merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid
‘ala Kitab at-Tauhid [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik
adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba.
Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak
bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan
hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa
berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan
kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain
Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau
karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini
semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh
sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang
lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh
beliau, hal. 6)
Melandasi Tauhid Dengan Ilmu
Sebagian salaf berkata, “Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa
ilmu maka dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (lihat al-’Ilmu,
Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 93). Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak
akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan
diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan
diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan
as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu
Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)
Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Shahihnya di dalam Kitab al-’Ilmu
sebuah bab dengan judul ‘Ilmu sebelum berkata dan beramal, berdasarkan firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada sesembahan -yang
benar- selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).’ Lalu beliau [Imam Bukhari] berkata,
“Allah memulai dengan ilmu.” (lihat Fath al-Bari [1/194])
Ibnul Munayyir rahimahullah berkata, “Beliau -Imam Bukhari- bermaksud
menjelaskan bahwa ilmu merupakan syarat benarnya ucapan dan amalan. Sehingga
keduanya tidak dianggap tanpanya. Maka ilmu itu lebih didahulukan daripada
keduanya, sebab ilmu menjadi faktor yang meluruskan niat, sedangkan lurusnya
niat itulah yang meluruskan amalan. Penulis ingin menggarisbawahi hal itu
supaya tidak muncul anggapan dari sebagian orang bahwa ‘ilmu tidak ada gunanya
tanpa amalan’ yang menimbulkan sikap meremehkan ilmu dan bermudah-mudahan dalam
mempelajarinya.” (lihat Fath al-Bari [1/195])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa
tauhid tidak akan terealisasi pada diri seseorang kecuali dengan tiga perkara
- Pertama, ilmu; karena kamu tidak mungkin mewujudkan sesuatu sebelum mengetahui/memahaminya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad: 19).
- Kedua, i’tiqad/keyakinan, apabila kamu telah mengetahui namun tidak meyakini dan justru menyombongkan diri/angkuh maka itu artinya kamu belum merealisasikan tauhid. Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir (yang artinya), “Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan sesembahan-sesembahan -yang banyak- itu menjadi satu sesembahan saja, sungguh ini merupakan perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5). Mereka -orang kafir- tidak meyakini keesaan Allah dalam hal peribadahan -meskipun mereka memahami seruan Nabi tersebut, pent-.
- Ketiga, inqiyad/ketundukan, apabila kamu telah mengetahui dan meyakini namun tidak tunduk maka itu artinya kamu belum mewujudkan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka itu dahulu apabila dikatakan kepada mereka bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah maka mereka pun menyombongkan diri/bersikap angkuh dan mengatakan; apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara seorang penyair gila?” (QS. ash-Shaffat: 35-36) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/55])
Ilmu Ada Pada Atsar
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa
yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu
apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah
ilmu.” (lihat Da’a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391). al-Maimuni
rahimahullah berkata: Ahmad bin Hanbal pernah berpesan kepadaku, “Wahai Abul
Hasan! Berhati-hatilah kamu, jangan sampai engkau berbicara dalam suatu masalah
yang engkau tidak memiliki imam dalam hal itu.” (lihat Manaqib al-Imam Ahmad
oleh Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, hal. 245)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul
maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang
menyelisihi perintah rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau siksaan
yang sangat pedih.” (QS. an-Nuur: 63)
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang
dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang
diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” (lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub
Ittiba’ as-Salaf al-Kiram, hal. 46).
Hakikat Ilmu Dalam Pandangan Salafus Shalih
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu saja.”
(QS. Fathir: 28). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini artinya, setiap
orang yang semakin berilmu tentang Allah niscaya dialah orang yang lebih banyak
takut kepada-Nya. Rasa takut kepada Allah akan memunculkan sikap menahan diri
dari kemaksiatan-kemaksiatan dan bersiap-siap untuk berjumpa dengan sosok yang
ditakutinya (Allah)…” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 756)
Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang
maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat
kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat
Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136)
Oleh sebab itulah mengapa para salaf menyebut semua orang yang berbuat
maksiat -meskipun dia mengetahui- sebagai orang yang jahil/bodoh. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya taubat itu akan diterima oleh Allah
hanyalah bagi orang-orang yang melakukan keburukan dengan sebab kebodohan,
kemudian mereka bertaubat dalam waktu yang dekat.” (QS. an-Nisaa’: 17). Abul
‘Aliyah mengatakan, “Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad -shallallahu
‘alaihi wa sallam- tentang makna ayat ini, maka mereka berkata kepadaku, ‘Semua
orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia adalah jahil/bodoh, dan semua orang
yang bertaubat sebelum meninggal maka dia telah bertaubat dalam waktu yang
dekat’.” Mujahid berkata, “Setiap orang yang berbuat maksiat maka dia adalah
bodoh ketika melakukan maksiatnya itu.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal.
21)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di
antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang
Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya
terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu
dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi
mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat
Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuahkan amalan. Kalau seorang
hamba memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya maka dia telah mengikuti
jalannya orang yang dimurkai -al-maghdhubi ‘alaihim-. Adapun apabila dia
beramal namun tanpa landasan ilmu maka dia telah mengikuti jalannya orang yang
sesat -adh-dhaallin-. Apabila ilmu dan amal itu berjalan beriringan pada diri
seorang hamba maka dia telah berjalan di atas jalannya orang-orang yang diberi
karunia oleh Allah; yaitu jalannya para nabi, shiddiqin, syuhada, dan
orang-orang shalih (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul,
hal. 21)
Oleh sebab itulah salafus shalih menjadikan ketakwaan sebagai standar
keilmuan. Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah ditanya mengenai siapakah orang yang
paling faqih/berilmu di antara ahlul Madinah? Beliau menjawab, “Yang paling
bertaqwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah oleh Abul Harits
at-Ta’muri, hal. 44)
Hakikat Keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh
puluh sekian cabang. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaha illallah dan yang
terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Bahkan, rasa malu juga
merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Beliau menjadikan perkara-perkara ini
semuanya sebagai bagian dari iman. Yaitu ucapan laa ilaha illallah, ini adalah
ucapan. Menyingkirkan gangguan dari jalan, ini adalah amalan. Dan rasa malu
sebagai cabang keimanan, maka ini adalah keyakinan…” (lihat Syarh Lum’at
al-I’tiqad, hal. 181)
Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Iman adalah
ucapan dengan lisan, amal dengan anggota badan, keyakinan dengan hati. Ia dapat
bertambah dengan sebab ketaatan, dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.”
(lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad al-Hadi ila Sabil ar-Rasyad oleh Syaikh Ibnu
Utsaimin hal. 98)
Para ulama mengatakan, “Bukan termasuk paham Ahlus Sunah pendapat yang
mengatakan bahwa iman adalah sekedar pembenaran hati! Atau pembenaran hati dan
diiringi dengan ucapan lisan -saja- tanpa disertai amal anggota badan!
Barangsiapa yang berpendapat semacam itu maka dia adalah orang yang sesat, dan
ini merupakan -keyakinan- madzhab Murji’ah yang sangat buruk itu!” (lihat
Mujmal Masa’il al-Iman al-Ilmiyah, hal. 14).
Syafa’at Bagi Pelaku Dosa Besar
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang
mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa/permintaannya itu. Adapun
aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa
-syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang
meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu
apapun.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Terdapat riwayat-riwayat yang secara
keseluruhan mencapai derajat mutawatir yang menetapkan kebenaran syafa’at di
akhirat bagi para pelaku dosa diantara kaum beriman. Telah sepakat salaf dan
kholaf serta para ulama sesudahnya dari kalangan Ahlus Sunnah atas hal itu.
Akan tetapi Khawarij dan sebagian Mu’tazilah tidak mempercayai hal itu. Mereka
berpegang dengan madzhab mereka bahwa para pelaku dosa [besar] kekal di dalam
neraka.” (lihat Syarh Muslim [2/311])
Karakter Kaum Beriman
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman itu
adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati
mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah
keimanan mereka. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS.
Al-Anfal: 2)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa dari ayat di
atas bisa disimpulkan bahwa ciri-ciri orang beriman itu antara lain:
- Merasa takut kepada-Nya ketika mengingat-Nya, yang dengan sebab itulah maka dia akan melakukan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya
- Bertambahnya keimanan mereka tatkala mendengar dibacakannya al-Qur’an
- Menyerahkan segala urusan dan bersandar kepada Allah semata (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 269)
Kewajiban Mengikuti Jalan Salafus Shalih
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan
pertama-tama dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya. Allah
sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat
besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga
generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Ayat di atas membimbing kita untuk mengikuti mereka dengan baik. Jalan yang
mereka tempuh adalah kebenaran, sedangkan menyimpang dari jalan mereka adalah
sumber kesesatan. Adapun istilah salafi merupakan penisbatan/penyandaran diri
kepada salafus shalih. Hal itu sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama
semacam as-Sam’ani dalam kitabnya al-Ansaab dan adz-Dzahabi dalam kitabnya
Siyar A’lamin Nubala’ . Seperti contohnya pujian Imam adz-Dzahabi terhadap Imam
ad-Daruquthni, “Lelaki ini tidak pernah menyentuh ilmu kalam/filsafat dan
perdebatan. Beliau pun tidak suka membicarakannya. Beliau adalah seorang
salafi.” (lihat al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 12 oleh
Amru Abdul Mun’im Salim)
Salafiyah adalah sebuah manhaj/metode beragama. Ia bukanlah sekumpulan
orang atau suatu tanzhim/organisasi tertentu, sebagaimana disangka sebagian
orang. Menyandarkan diri kepada salafiyah merupakan penisbatan yang terpuji.
Karena hakikat dari salafiyah itu adalah mengikuti cara beragama para Sahabat
Nabi, baik dalam hal keyakinan, keimanan, fiqh, pemahaman, tata cara ibadah,
akhlak, tarbiyah, demikian pula dalam hal tazkiyatun nafs/penyucian jiwa (lihat
al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidaklah tercela orang yang
menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri dan merasa mulia dengannya. Sudah
menjadi kewajiban kita untuk menerimanya sebagaimana telah disepakati oleh para
ulama. Sebab madzhab salaf itu tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.”
(Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh
al-Albani, hal. 16)
Menempuh Jalan Keselamatan
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Bani Isra’il berpecah menjadi tujuh
puluh dua golongan. Adapun umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan saja.” Mereka pun bertanya,
“Siapakah golongan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Orang-orang yang
mengikuti aku dan para sahabatku.” (HR. Tirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albani)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sunnah adalah
jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun al-Jama’ah adalah jama’ah
kaum muslimin; mereka itu adalah para sahabat, dan para pengikut setia mereka
hingga hari kiamat. Mengikuti mereka adalah petunjuk, sedangkan menyelisihi
mereka adalah kesesatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, takhrij
Syaikh al-Albani, hal. 382 cet. al-Maktab al-Islami)
Mencukupkan Diri Dengan Tuntunan dan Menjauhi Bid’ah
Bid’ah secara bahasa artinya adalah perkara yang diada-adakan. Kalau
ditinjau dari makna istilahnya, bid’ah artinya segala sesuatu yang diada-adakan
di dalam agama yang menyelisihi pijakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik berupa akidah maupun amalan. Hukum dari bid’ah itu adalah haram
berdasarkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang
Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti selain jalan orang-orang
yang beriman, maka Kami akan membiarkannya terombang-ambing dalam kesesatan
yang dipilihnya, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan
sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’:
115). Dan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jauhilah oleh kalian
segala perkara baru yang diada-adakan -dalam agama- karena sesungguhnya setiap
perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah pasti sesat.”
(lihat Syarh Lum’at al-I’tiqad oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 40
tahqiq Asyraf bin Abdul Maqshud)
Bid’ah Sumber Perpecahan Umat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang Kami
perintahkan adalah jalan-Ku yang lurus ini. Ikutilah ia dan jangan kalian
mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian
dari jalan-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 153)
Imam asy-Syathibi rahimahullah berkata, “Shirathal mustaqim itu adalah
jalan Allah yang diserukan oleh beliau [rasul]. Itulah as-Sunnah. Adapun yang
dimaksud dengan jalan-jalan yang lain itu adalah jalan orang-orang yang
menebarkan perselisihan yang menyimpang dari jalan yang lurus. Dan mereka
itulah para pelaku bid’ah.” (lihat al-I’tisham [1/76]). Ketika menjelaskan
maksud ayat “dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain’ Mujahid
mengatakan, “Maksudnya adalah bid’ah dan syubhat-syubhat.” (lihat al-I’tisham
[1/77])
Kewajiban Tunduk Kepada Hukum Allah
Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali
kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi
keimanan dan penghambaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala (lihat at-Tauhid li
ash-Shaff ats-Tsalits al-’Ali, hal. 37)
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah
seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu
menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan
hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103
cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap
rububiyah Allah dan ridha Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
utusan-Nya. Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang
yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai
rasul.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu ahli kitab yang menaati pendeta dan rahib-rahib mereka
dalam melanggar hukum-hukum Allah disebut dalam al-Qur’an dengan istilah
‘mengangkat rabb selain Allah’. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Mereka
telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah, dan
al-Masih putra Maryam pun mereka perlakukan demikian. Padahal, mereka tidaklah
diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada sesembahan yang satu saja. Tidak
ada sesembahan yang benar selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (QS. at-Taubah: 31)
Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, dia berkata: Dahulu aku datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara di leherku masih terdapat
salib dari emas. Maka beliau bersabda, “Wahai ‘Adi! Buanglah berhala ini.” Dan
aku mendengar beliau membaca ayat dalam surat al-Bara’ah (yang artinya),
“Mereka telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain
Allah.” (QS. at-Taubah: 31). Beliau bersabda, “Mereka memang tidak beribadah
kepada pendeta dan rahib-rahib itu. Akan tetapi apabila pendeta dan rahib
menghalalkan sesuatu lalu mereka pun menghalalkannya. Demikian juga apabila
mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkannya.” (HR. Tirmidzi
dihasankan oleh Syaikh al-Albani, lihat juga Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/93])
Peringatan Bagi Orang Yang Berpaling Dari Hukum Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya
Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berbuat zalim
itu.” (QS. Al-Qashash: 50)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS.
Al-Ma’idah: 44)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS.
Al-Ma’idah: 45)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS.
Al-Ma’idah: 47)
Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa
yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui
bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka
dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena
kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah,
pent- maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal.
386)
Imam al-Qurthubi berkata, “Apabila orang tersebut berhukum dengannya
-yaitu bukan dengan hukum yang diturunkan Allah- karena dorongan hawa nafsu
atau kemaksiatan, maka itu adalah dosa yang masih bisa mendapatkan ampunan
berdasarkan kaidah Ahlus Sunnah yang menetapkan [terbukanya] ampunan bagi para
pelaku dosa besar.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/498-499])
Sebagian ulama berpendapat bahwa mengganti hukum syari’at dengan
undang-undang buatan manusia yang diberlakukan secara umum sehingga hukum
selain Islam yang lebih dominan adalah kufur akbar yang dapat mengeluarkan dari
agama (lihat Syarh Tsalatsat al-Ushul oleh Abdullah bin Sa’ad Aba Husain hal.
297-301, lihat juga Fitnatu at-Takfir, hal. 98)
Meskipun demikian, tidaklah setiap orang yang mengganti hukum syari’at
dengan undang-undang buatan manusia dapat dengan serta-merta dikafirkan begitu
saja. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata, “Ketika kami katakan bahwa pelakunya
adalah kafir, maka yang kami maksud adalah perbuatannya itu mengantarkan
dirinya kepada kekafiran. Namun, bisa jadi orang yang menetapkan aturan
tersebut mendapat udzur (sehingga tidak bisa dikafirkan, pent). Semisal dia
terkecoh dengan pernyataan, “Hal ini tidak bertentangan dengan Islam.” “Hal ini
termasuk maslahat mursalah.” “Masalah ini diserahkan Islam kepada manusia
[terserah bagaimana mereka mengaturnya, pent].” (lihat al-Qaul al-Mufid [2/69])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin menasehati kita, “Bahkan,
seandainya ada seseorang yang memiliki keyakinan antara dirinya dengan Rabbnya,
bahwa diantara penguasa tersebut ada yang benar-benar kafir keluar dari agama
lantas apa faidah menampakkan sikap itu [pengkafiran] dan menyebarluaskannya
kecuali justru membangkitkan kekacauan?” (lihat Fitnatu at-Takfir, hal. 35)
Hendaklah kita mengambil ibrah/pelajaran dari kejadian yang menimpa
Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan jelas dan tegas mengeluarkan pernyataan
tentang kafirnya orang yang berkeyakinan al-Qur’an adalah makhluk (keyakinan
Jahmiyah). Meskipun demikian, kita dapati beliau tidak dengan serta merta
mengkafirkan pemerintah [khalifah] yang menyerukan kekafiran itu. Beliau juga
tidak memprovokasi rakyat untuk memberontak kepada penguasa; padahal mereka
jelas-jelas memaksa umat -bahkan sampai menyiksa, memenjara, dan membunuh
sebagian ulama- agar meyakini al-Qur’an adalah makhluk!! (lihat Da’aa’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 263)
Pengkafiran Bukan Masalah Sepele
Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya maka sungguh tuduhannya
itu akan kembali terarah kepada salah seorang di antara mereka berdua.” Dalam
sebagian riwayat disebutkan, “Apabila sebagaimana apa yang dia katakan -maka
dia [penuduh] tidak bersalah- akan tetapi apabila tidak sebagaimana yang dia
tuduh maka tuduhan itu justru kembali kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam al-’Aini rahimahullah menjelaskan, bahwa maksud dari ‘tuduhan itu
justru kembali kepadanya’ adalah sebagaimana yang diterangkan oleh al-’Aini
rahimahullah, yaitu, “Apa yang diucapkannya justru terarah kepada dirinya
sendiri, karena orang yang dikafirkannya benar imannya (tidak kafir).” Sehingga
maknanya adalah kalau tuduhannya itu tidak terbukti kebenarannya maka
sesungguhnya dia telah mengkafirkan dirinya sendiri (lihat ‘Umdat al-Qari
[22/245])
Cara Menasehati Penguasa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah seharusnya
cara anda beramar ma’ruf adalah dengan cara yang ma’ruf, demikian pula cara
anda dalam melarang kemungkaran adalah bukan berupa kemungkaran.” (lihat
al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 24)
Dari ‘Iyadh bin bin Ghunm radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin menasehati penguasa maka
janganlah dia menampak hal itu secara terang-terangan/di muka umum, akan tetapi
hendaknya dia memegang tangannya seraya menyendiri bersamanya -lalu
menasehatinya secara sembunyi-. Apabila dia menerima nasehatnya maka itulah
-yang diharapkan-, dan apabila dia tidak mau maka sesungguhnya dia telah
menunaikan kewajiban dirinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim dengan sanad
sahih)
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang
yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang
pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan
kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela
Sunnah, insya Allah.” (lihat Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang cara beramar
ma’ruf dan nahi mungkar kepada penguasa, beliau menjawab, “Apabila kamu memang
mampu melakukannya, cukup antara kamu
dan dia saja.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 105)
Dari Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah, dia berkata: Ada orang yang bertanya
kepada Usamah radhiyallahu’anhu, “Mengapa kamu tidak bertemu dengan ‘Utsman
untuk berbicara (memberikan nasehat) kepadanya?”. Beliau menjawab, “Apakah
menurut kalian aku tidak berbicara kepadanya kecuali harus aku perdengarkan
kepada kalian? Demi Allah! Sungguh aku telah berbicara empat mata antara aku
dan dia saja. Karena aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu
fitnah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bersabar Menghadapi Kezaliman Penguasa
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib atas setiap individu muslim untuk selalu
mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai ataupun yang tidak disukainya,
kecuali apabila dia diperintahkan untuk melakukan maksiat. Maka apabila dia diperintahkan
untuk melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh patuh.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada para pemimpin/penguasa setelahku yang
mengikuti petunjuk bukan dengan petunjukku dan menjalankan Sunnah/ajaran namun
bukan Sunnahku. Dan akan ada di antara mereka orang-orang yang memiliki hati
seperti hati setan yang bersemayam di dalam raga manusia.” Hudzaifah pun
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus kulakukan jika aku menjumpainya?”
Beliau menjawab, “Kamu harus tetap mendengar dan taat kepada pemimpin itu,
walaupun punggungmu harus dipukul dan hartamu diambil. Tetaplah mendengar dan
taat.” (HR. Muslim)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Akan muncul para penguasa yang kalian mengenali mereka namun
kalian mengingkari -kekeliruan mereka-. Barangsiapa yang mengetahuinya maka dia
harus berlepas diri -dengan hatinya- dari kemungkaran itu. Dan barangsiapa yang
mengingkarinya -dengan hatinya, pent- maka dia akan selamat. Akan tetapi yang
berdosa adalah orang yang meridhainya dan tetap menuruti kekeliruannya.” Mereka
[para sahabat] bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?” Beliau
menjawab, “Jangan, selama mereka masih menjalankan sholat.” (HR. Muslim)
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan,
“Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu prinsip
pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj
Nubuwwah, hal. 280)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran yang
dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu perkara
ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu bentuk
pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih mungkar
dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan tindak
pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang membencinya dan
murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan pemimpin
dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal itu
merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa.
Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah
yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu
timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam
menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya
hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar
daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh Ruslan dalam al-Amru bil
Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)
Pemberontakan tidak hanya dengan senjata, bahkan ia bermula dari ucapan
lisan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Memberontak kepada para
pemimpin terjadi dalam bentuk mengangkat senjata, dan ini adalah bentuk
pemberontakan yang paling parah. Selain itu, pemberontakan juga terjadi dengan
ucapan; yaitu dengan mencaci dan mencemooh mereka, mendiskreditkan mereka dalam
berbagai pertemuan, dan mengkritik mereka melalui mimbar-mimbar. Hal ini akan menyulut
keresahan masyarakat dan menggiring mereka menuju pemberontakan terhadap
penguasa. Hal itu jelas merendahkan kedudukan pemerintah di mata rakyat. Ini
artinya, pemberontakan juga bisa terjadi dalam bentuk ucapan/provokasi.” (lihat
Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 272)
Wallahu a’lam bish shawab.
Posting Komentar