Apa Itu Pragmatisme?


Konsepsi kita tentang akibat-akibat bagi kita adalah keseluruhan dari konsepsi kita tentang objek itu, selama konsepsi itu mempunyai signifikansi yang sama sekali positif. Inilah prinsip dari Peirce, prinsip tentang pragmatisme. 

Untuk mencapai kejernihan yang sempurna dalam pikiran-pikiran kita tentang sebuah objek, maka, kita hanya perlu mempertimbangkan apa akibat-akibat dari suatu jenis praktis yang dapat dibayangkan dari objek yang dilibatkan.... konsepsi kita tentang akibat-akibat ini, kemudian, bagi kita adalah keseluruhan dari konsepsi kita tentang objek itu, selama konsepsi itu mempunyai signifikansi yang sama sekali positif. Inilah prinsip dari Peirce, prinsip tentang pragmatisme. 

William James, "Philosophical Concepts and Practical Results" (1898)

FILSAFAT itu mempunyai ironi-ironi kecil. Charles S. Peirce (1839-1914)-yang oleh Henry (saudara William James) diberi penghargaan sebagai penemu pragmatisme-sama sekali bukan merupakan kesuksesan praktis. Dipecat dari Johns Hopkins University dan ditolak secara akademis karena perbuatan-perbuatan tidak bermoralnya, Profesor Peirce turun derajatnya menjadi orang yang menggantungkan hidupnya dari sumbangan dan pemberian orang lain, mati dalam keadaan miskin dan dilupakan. (Namun, dia dapat tertawa untuk terakhir kali saat berada dalam lingkungan akademis, dengan menemukan semiotika secara bersama-sama).

Peirce, meskipun mengalami kegagalan, adalah seorang jenius dalam beberapa disiplin ilmu sekaligus, yang telah memberikan kontribusi-kontribusi nyata dalam disiplin ilmu matematika, filsafat, ilmu kimia, psikologi, dan statistik. Meskipun warisan peninggalannya yang paling dapat bertahan lama adalah filsafat yang disokong oleh James dan selanjutnya oleh John Dewey. Bersikap tidak menghargai metafisika-studi tentang "realitas-realitas" yang tidak dapat dicerap oleh indra atau yang bersifat abstrak-Peirce mendesak bahwa makna dari sebuah ide hanya dapat disandarkan pada akibat-akibat praktisnya. Jika sebuah ide tidak mempunyai akibat (pengaruh), maka ide itu tidak berarti apa-apa-apakah itu "meracau" atau “benar-benar absurd", untuk menggunakan kata-kata miliknya.

Hasil akhirnya adalah konsep-konsep semacam "kebaikan" dan "kebenaran" itu tidak mempunyai realitas sebelum atau terpisah dari sesuatu yang kita lakukan dengan mereka terpisah dari bagaimana mereka memengaruhi perilaku kita. Keyakinan, dalam pandangan pragmatis, adalah sama seperti tindakan atau setidaknya tindakan yang potensial. Jika ide kita tentang kebaikan mencakup perbuatan membantu perempuan tua menyeberang jalan, maka kebaikan bagi kita akan mencakup kecenderungan untuk menampilkan tindakan-tindakan. Akhirnya, kebaikan adalah jumlah keseluruhan dari pengaruh-pengaruh ide ini. James, dalam berbagai karyanya, mengembangkan gagasan ini bahkan hingga pada konsep tentang Tuhan. Dia menulis dalam Pragmatism (1907), misalnya, bahwa "Jika hipotesis tentang Tuhan bekerja secara memuaskan dalam pengertian yang paling luas dari kata, ini adalah benar" (penekanan saya).

Di era James, pragmatisme telah mengasumsikan aneka ragam bentuk, tidak semua bentuk itu patuh kepada para pencetus pragmatisme. Namun, kaum pragmatis masih berbagi premis-premis dasar yang sangat inti, seperti fleksibilitas dalam metode, tidak menghargai dogma, dan suatu pandangan yang relatif tentang nilai-nilai. ("Baik" dan "buruk" didefinisikan berdasarkan pada berbagai kebutuhan, hasrat, dan praktik tertentu dari manusia.) Meskipun, Peirce tidak terlalu condong pada relativisme. Dia meyakini bahwa alam semesta ini diatur oleh hukum-hukum yang terus berkembang dan berproses, selalu bersifat lebih tertata dan bersifat agak lebih pasti. Dia meyakini bahwa ilmu pengetahuan juga terus berkembang dan berproses, dan para saintis itu secara bertahap dan terus-menerus mendekati "kebenaran" hukum-hukum universal. Para pragmatis lain akan mengatakan bahwa "kebenaran" itu hanyalah sebuah konsep relatif yang didefinisikan oleh kebutuhan-kebutuhan dan perilaku manusia. "Kebenaran," tulis James, "adalah sebutan dari apa pun yang membuktikan dirinya adalah baik dalam keyakinan yang dianut. Kebenaran adalah sesuatu yang bekerja dan berfungsi.

Salah satu partisan dari pandangan terakhir sekarang ini yang lebih terkenal (atau dikenal karena reputasi jeleknya) adalah Stanley Fish, seorang profesor Bahasa Inggris dan Hukum di Duke University. Fish menyukai membahas relativitas dari konsep-konsep tertentu yang dianggap benar, sebagaimana dalam bukunya yang paling akhir (sebagaimana dalam tulisan ini), There's No Such Thing as Free Speech, and It's a Good Thing, Too (1994). Kebebasan berbicara, menurut Fish, adalah bukan sesuatu yang diberikan begitu saja secara absolut, apakah itu melalui hak alami atau yang berdasarkan hukum; kebebasan berbicara hanyalah apa yang, secara komunal, kita bersetuju untuk membiarkannya terjadi. Beberapa hal-seperti "memerangi kata-kata" atau pornografi-akan selalu dicegah, dan definisi-definisi tentang "kebebasan" dan "berbicara" itu secara terus-menerus dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan komunitas. Fish di masa lalu, sepanjang baris-baris kalimat yang serupa, juga telah mengkritisi secara terperinci teori-teori yang berhubungan dengan sastra, gagasan-gagasan tentang "kualitas", dan doktrin-doktrin resmi.

Fish hanyalah salah satu dari kaum neopragmatis, yang paling berpengaruh, yang pernah menjadi sahabat akrab dari filsuf Richard Rorty. Rorty, menyadari bahwa pragmatisme, secara logis, mengimplikasikan bahwa mempelajari filsafat itu tidak bersifat indrawi (nonsensical), telah menempuh langkah yang mengagumkan dari karier-kariernya yang terus berubah. (Dia sekarang adalah seorang profesor Bahasa Inggris.) Kontradiksi-kontradiksi semacam ini, seharusnya tercatat, sama sekali bukan pemikiran pragmatis yang unik. Contoh bagus yang lain adalah tentang Steven Knapp dan Walter Benn Michaels, yang dipromosikan oleh Fish, yang telah menimbulkan situasi yang menghebohkan di kalangan departemen-departemen sastra dengan memublikasikan sebuah esai teoretis yang berjudul "Against Theory" (1982). Ide sentral dari artikel yang menakjubkan ini bahwa semua teori sastra adalah didasarkan pada pembedaan antara yang "benar-benar" dimaksudkan sebuah teks dan oleh penulisnya. Akan tetapi, pembedaan ini adalah tidak nyata, ketika dalam praktiknya, keduanya adalah satu dan sama: kapan saja kita berbicara tentang "makna", kita tidak dapat memaksudkan sesuatu selain dari "maksud" (intention = maksud, arti, tujuan). Oleh karena itu, untuk mengutip penulis esai ini, "seluruh keberanian berusaha dari teori kritis ini", menjadi "tidak koheren" dan praktis tidak memberi pengaruh, "adalah sesat dan harus ditinggalkan". Akan tetapi, tak seorang pun yang mendengarkan. Artikel ini tidak mempunyai akibat yang praktis. Teori masih terus berkuasa. Jadi, pragmatisme harus ditinggalkan.

Penulis : Michael Macrone

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama