Apa Itu Tabula Rasa?


Tabula rasa berarti "piringan kosong", merupakan kondisi orisinal dari pikiran manusia

Marilah kita anggap pikiran (mind) itu adalah, sebagaimana yang kita katakan, kertas putih, kosong dari semua karakter, tanpa satu ide pun. Bagaimana pikiran itu menjadi sangat berwarna?.... Tentang hal ini, saya menjawab, dalam satu kata, yaitu dari pengalaman. John Locke, Essay Concerning Human Understanding (1690),

Buku II

JANGAN sampai Bahasa Latin membuat Anda takut, tabula rasa sebenarnya adalah salah satu dari ide-ide besar yang lebih sederhana. Menurut beberapa filsuf, hal ini hanya berarti "piringan kosong", merupakan kondisi orisinal dari pikiran manusia.

Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah pakar Fisika Inggris, John Locke (1632-1704), yang dalam karya Essay concerning Human Understanding telah mempelajari asal usul ide-ide dan hubungan mereka dengan realitas. Dia mengemukakan bahwa semua ide ini berasal dari pengalaman dan bahwa pengetahuan itu hanyalah relasi-relasi antara ide-ide. Hal ini berarti kita tidak dapat mempunyai ide-ide apa pun hingga kita mempunyai pengalaman-pengalaman. Jadi, sebenarnya, pikiran dari anak yang baru lahir adalah kosong. Locke menyebutnya "kertas putih"; tabula rasa (secara harfiah berarti "tablet yang dihapus") mendahului dia dan menyatakan, bertentangan dengan doktrinnya, bahwa sesuatu itu telah berada di sana sebelum dihapus.

Hasil akhir dari "kertas putih" Locke adalah bukan hanya kita dilahirkan dalam keadaan tanpa ide-ide konkret, kita juga tidak mempunyai konsep-konsep abstrak semacam moralitas, Tuhan, dan kebebasan. Konsep-konsep semacam ini harus dipelajari, sebagaimana bahasa, dan mereka ini dipelajari baik melalui pengalaman atau melalui perenungan dan nalar. Pandangan-pandangan ini membawa Locke untuk menolak idealisme dan seluruh gagasan dari ide-ide bawaan yang mewarnai bahasan filsafat seharihari.

Meskipun, rasio mempunyai tempatnya sendiri dalam pemahaman manusia, Locke mengatakan, rasio tidak mendominasi pengalaman. Pikiran adalah bukan di atas materi, karena materi, melalui pengalaman, menyediakan ide-ide untuk pikiran (mind). Konsep-konsep kita yang paling sederhana dan paling mendasar (seperti "suara nyaring","keras", dan "manis") yang didukung oleh indra, dan semua ide yang lebih konkret yang dibangun di atas mereka. Ideide lain datang kepada kita melalui refleksi (perenungan), termasuk kesadaran tentang proses pemikiran kita sendiri; "pemikiran" itu sendiri sebagaimana halnya dengan "persepsi", "keyakinan", "kesadaran", "keraguan", dan lainlain, semuanya didukung oleh pengalaman reflektif. Ideide seperti itu bersifat sederhana, namun, bukan berarti ide-ide bawaan.

Doktrin Locke tentang tabula rasa, terutama, bersumber dari logika sederhana. Misalnya, jika kita semua lahir dengan sebuah ide bawaan tentang Tuhan, maka kita akan mempunyai ide yang sama tentang Tuhan. Akan tetapi, tentu saja, kita tidak demikian. Demikian pula, jika kita terlahir dengan sebuah ide tentang kebenaran moral, kita semua akan setuju tentang apa yang benar dan apa yang salah. Akan tetapi, kita tidak demikian. Akhirnya, kebenaran-kebenaran analitis, seperti "Apa pun ia, ia eksis" dan "2 + 2 = 4" adalah bukan ide-ide yang sudah jelas bagi setiap orang-misalnya, anak-anak dan orang-orang idiot. Locke juga memikirkan premis tentang rasionalismepikiran berada di atas materi-yang terlalu kompleks untuk digunakan atau untuk menjadi valid. Seperti Occam, dia memikirkan bahwa yang lebih sederhana itu lebih baik, dan penjelasan apa pun tentang pengetahuan yang tidak memerlukan ide-ide bawaan adalah lebih sederhana.

Sebenarnya, ketika tabula rasa tampaknya merupakan sebuah ide yang sederhana, argumen Locke berakhir dengan agak rumit. Dalam kenyataan, dia kadang-kadang bertentangan dengan dirinya sendiri dan yang pada akhirnya memaksa untuk mengakui bahwa "fakultas-fakultas" (kemampuan-kemampuan tersembunyi) seharusnya bersifat bawaan. Di antara "fakultas-fakultas" ini terdapat lima indra dan kemampuan bernalar, yang diperhitungkan sebagai "ide-ide" oleh beberapa kalangan. Apa pun kesulitankesulitan yang terjadi tentang argumennya, argumen-argumen ini telah mengendalikan filsafat Inggris untuk terus memelihara karakter empirismenya. Namun, dia telah gagal untuk meyakinkan para filsuf Prancis, yang secara keseluruhan, masih tetap menjadi kaum rasionalis. Salah satu alasan lain tentang mengapa banyak orang Inggris merasa khawatir terkait dengan penyatuan Eropa dan dengan akan dibangunnya terusan-terusan (bawah laut dan permukaan) antarnegara.

Penulis : Michael Macrone

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama